Bagikan:

JAKARTA - Upacara kelulusan identik dengan kemeriahan. Ketika ratusan siswa berkumpul di satu aula. Tapi itu tidak berlaku di Jepang saat ini.

Upacara kelulusan di SMP Yumoto di bagian pegunungan Jepang utara, begitu menyedihkan. Cuma ada Eita Sato dan Aoi Hoshi yang berjalan menuju upacara kelulusan sekolah.

Langkah kaki mereka bergema di aula yang pernah ramai dan berisik dengan siswa ketika peristiwa yang sama belasan tahun lalu.

Mereka berdua adalah satu-satunya lulusan SMP Yumoto. Dan sayangnya, bakal jadi yang terakhir. Sekolah berusia 76 tahun itu akan ditutup untuk selamanya setelah tahun ajaran berakhir pada hari Jumat.

"Kami mendengar desas-desus tentang penutupan sekolah di tahun kedua kami, tetapi saya tidak membayangkan itu akan benar-benar terjadi. Saya terkejut," kata Eita yang berusia 15 tahun dilansir dari Japan Today, Senin 3 April.

Angka kelahiran di Jepang anjlok lebih cepat dari yang diperkirakan. Penutupan sekolah terutama di daerah pedesaan seperti Ten-ei, area ski pegunungan dan mata air panas di Prefektur Fukushima, sudah jamak terjadi.

Besarnya biaya melahirkan anak jadi biang kerok. Perdana Menteri Fumio Kishida janji akan membuat kebijakan supaya meningkatkan angka kelahiran, termasuk menggandakan anggaran untuk kebijakan terkait anak, dan mengatakan menjaga lingkungan pendidikan sangat penting.

Tapi itu belum cukup.

Angka kelahiran anjlok di bawah 800.000 pada tahun 2022, rekor terendah baru. Sekitar 450 sekolah tutup setiap tahun. Antara tahun 2002 dan 2020, hampir 9.000 menutup pintu mereka selamanya, sehingga sulit bagi daerah terpencil untuk memikat penduduk baru dan lebih muda.

SMP Yumoto terdiri dari dua lantai yang terletak di pusat distrik. Punya sekitar 50 lulusan per tahun selama masa kejayaannya di tahun 1960-an.

Eita dan Aoi, bersama-sama sejak tiga, berada di kelas lima orang sampai sekolah dasar tetapi hanya dua yang melanjutkan di Yumoto.

Meja mereka duduk berdampingan di tengah ruang kelas yang dirancang untuk 20 orang, dan selama tahun pertama mereka "banyak bertengkar", kata Eita.

Aoi, yang bercita-cita menjadi guru taman kanak-kanak di kampung halamannya, akan bersekolah di sekolah yang berbeda dari Eita mulai bulan April.

"Saya tidak tahu apakah akan ada anak-anak di desa saat saya menjadi guru," kata Aoi. "Tapi jika ada, aku ingin kembali."