Komnas HAM Minta Pemerintah Terapkan Peringanan Hukuman Mati Selain Grasi
ILUSTRASI ANTARA

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyoroti rekomendasi tentang penghapusan hukuman mati yang belum diterapkan menyeluruh oleh pemerintah Indonesia. Contoh kasusnya adalah vonis mati Ferdy Sambo dan tuntutan pidana mati kepada Teddy Minahasa.

Sementara, usulan penghapusan hukuman mati masuk dalam salah satu rekomendasi Universal Periodic Review (UPR) sesi adopsi yang dipimpin oleh Presiden Dewan HAM PBB pada November 2022 lalu.

"Komnas HAM memberikan catatan bahwa rekomendasi tentang penghapusan hukuman mati belum sepenuhnya diterima oleh Pemerintah Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang masih mengatur tentang hukuman mati," kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro dalam keterangannya yang merespons komitmen Indonesia atas rekomendasi UPR, dikutip Senin, 3 April.

Atnike pun mendorong pemerintah menerapkan mekanisme peringanan hukuman mati bagi terpidana selain selain mekanisme grasi.

Lagipula, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur pidana mati sebagai pidana alternatif.

KUHP memberikan masa percobaan 10 tahun bagi terpidana untuk berbuat baik di penjara. Bila selama 10 tahun ia berbuat baik, hukumannya dapat diubah menjadi penjara seumur hidup.

"KUHP yang baru telah menetapkan hukuman mati bukan lagi sebagai hukuman pokok, namun pidana yang bersifat khusus untuk pidana tertentu, dan memasukkan pengaturan masa percobaan 10 tahun untuk mengubah putusan hukuman mati," ungkap Atnike.

Berkaitan dengan rekomendasi lain pada UPR, Komnas HAM secara khusus mendukung komitmen Pemerintah Indonesia untuk terus menyelidiki pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah Papua, serta segera dan secara transparan meminta pertanggungjawaban hukum kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab.

"Komnas HAM juga mendorong pemerintah untuk merealisasikan komitmen untuk menjunjung tinggi, menghormati dan mempromosikan hak asasi manusia di Papua, termasuk dalam isu kebebasan berkumpul, berpendapat, berekspresi dan pers; serta hak-hak perempuan, anak dan minoritas; sekaligus memprioritaskan pelindungan warga sipil," urainya.

Selain itu, Atnike juga mendesak Pemerintah Indonesia untuk melaksanakan komitmen dalam memerangi impunitas secara efektif dengan segera menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dan yang sedang berlangsung, secara adil, kredibel, mandiri, terbuka dan transparan, termasuk kekerasan seksual dan berbasis gender, dengan lebih memberikan dukungan dan memperkuat peran penyelidikan

Komnas HAM.