JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) bisa saja diterapkan jika itu merupakan kehendak dari masyarakat. Hukuman mati bagi koruptor pun bisa diakomodasi lewat revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad mengapresiasi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait hukuman mati bagi koruptor. Ia menilai, ini merupakan peringatan dari Kepala Negara kepada para pejabat di Tanah Air agar tidak berperilaku koruptif.
"Maka warning yang keras itu merupakan suatu sinyal bahwa Pak Presiden tidak akan pandang bulu dan akan tegas memberantas korupsi. Itu kita apresiasi," tuturnya, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 10 Desember.
Namun, menurut Dasco, untuk implementasi terkait dengan hukuman mati tersebut perlu ditimbang tingkat kesalahannya. Termasuk, tindakan korupsi berdasarkan sektornya.
Sebagai contoh, Presiden Jokowi mengatakan, hukuman mati dapat diterapkan kepada mereka yang melakukan korupsi dalam sektor kemanusiaan. Seperti, korupsi dana bencana alam.
"Kalau itu saya setuju. Karena bencana alam adalah urgensi, ketika bencana alam maka ada orang-orang yang susah dan menderita. Kalau kemudian bantuan atau pengelolaan anggaran itu dikorupsi itu kelewatan. Saya setuju kalau itu," jelasnya.
Hukuman Mati Koruptor Sudah Diatur di UU Tipikor
Anggota Komisi III DPR Nasir Jamil menyampaikan wacana hukuman mati bagi koruptor seperti yang disampaikan Presiden Jokowi sebetulnya bukan hal baru. Dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) hukuman mati bisa diberikan kepada koruptor dalam kondisi tertentu.
"Sebenarnya hukuman mati bagi korupsi itu sudah diatur juga dalam UU tindak pidana korupsi, jadi tidak harus kemudian apa kalau dikehendaki oleh masyarakat, Pak Jokowi menurut saya keliru," kata Nasir.
Ketentuan hukuman mati setidaknya tercantum di dalam beberapa undang-undang. Di antaranya UU Tipikor, UU tentang Hak Asasi Manusia, UU tentang Narkotika dan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
"Dalam KUHP yang akan direvisi hukuman mati itu kan nanti akan apa namanya ada gradual ya, jadi hakim nanti bisa memutuskan misalnya jaksa menuntut untuk hukuman mati, hakim kemudian memutuskan seumur hidup," jelasnya.
Nasir menjelaskan, ketentuan hukuman mati bagi koruptor bisa dilakikan dengan dua kondisi. Pertama, kondisi ekonomi negara atau daerahnya yang sedang krisis. Kedua, kondisi negara atau daerah dalam keadaan bancana berat.
"Penyelenggara negara misalnya melakukan korupsi di dua kondisi itu maka UU mengatakan bahwa dia layak dihukum mati," ujarnya.
Politikus PKS ini menegaskan, saat ini yang diperlukan adalah keberanian presiden dan aparat penegak hukum menerapkan hukuman mati kepada koruptor. Bukan justru dengan memberikan remisi bahkan grasi kepada terpidana kasus korupsi.
"Presiden jangan hanya retorika. Introspeksi terkait pemberian grasi terhadap terpidana korupsi dan lain sebagainya. Nah karena itu kita harapkan Presiden kalau ingin bicara soal korupsi, tetap konsisten," tuturnya.
Ditemui terpisah, Ketua komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menegaskan, pihaknya tetap pada pendirian menolak diterapkannya hukuman mati. Tidak hanya pada koruptor, tetapi juga pada narapidana tindak kejahatan lain.
"Komnas tidak pernah berubah sikapnya, kita menolak hukuman mati. Paling tinggi kaitannya bagaimana kita bisa membangun peradaban. Dari sisi pragmatis juga tidak ada bukti statistik bahwa hukuman mati mengurangi tingkat tindak pidana ekstra ordinary crime. Dan itu di seluruh dunia," katanya.
Komnas HAM juga mengatakan, pihaknya mengajak semua pihak agar bisa membangun nilai peradaban yang lebih tinggi. "Bukan kalau ada orang bersalah kita jadi balas dendam, nyawa dibalas nyawa," ucapnya.