JAKARTA - Syekh Ali Jaber meninggal dunia pada Kamis, 14 Januari. Sang ulama wafat di Rumah Sakit Yarsi Cempaka Putih, Jakarta Pusat pada pukul 08.30 WIB.
Kabar ini disampaikan langsung oleh Ustaz Yusuf Mansur melalui akun Instagram pribadinya. “Inna lillahi Wa Inna Ilaihi Raaji’uun. Syekh Ali Jaber wafat d RS Yarsi, jam 8.30 WIB. Mohon doanya,” tulis Yusuf Mansur.
Sebelum meninggal, Syekh Ali Jaber sempat dirawat karena positif corona SARS-CoV-2, virus penyebab penyakit COVID-19. Akan tetapi, asisten pribadi Syekh Ali Jaber, Arief mengatakan pendakwah asal Madinah tersebut wafat dengan kondisi sudah negatif corona.
“Sudah tidak (positif COVID-19). Negatif,” ungkap Arief, dikutip VOI.
Semasa hidup, Ali Jaber dikenal sebagai ulama kenamaan asal Madinah, Arab Saudi. Pada tahun 2008, dia mulai berdakwah di Indonesia. Syekh Ali Jaber memutuskan menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) pada 2012.
Di Indonesia, Ali Saleh Muhammad Ali Jaber kerap dipanggil dengan sebutan ‘Syekh’ dan bukan ‘Habib’. Padahal, hafiz Alquran tersebut lahir dan besar di Tanah Arab. Mengapa demikian?
Terkait hal ini, Ali Jaber pernah menjelaskan bahwa sapaan ‘Syekh’ sudah disematkan sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Selain karena dirinya dikenal sebagai hafiz alias penghapal Alquran, pamannya adalah Imam Besar di Masjidil Haram.
“Para guru, kepala sekolah memanggil saya Syekh Ali. Itu bukan suatu yang diharapkan apalagi diminta, tapi diberikan begitu saja sebagai penghormatan,” kata Ali Jaber, 21 September 2020.
BACA JUGA:
Adapun sapan ‘Habib’ yang selama ini dialamatkan masyarakat di Indonesia lebih ditujukan kepada mereka yang memiliki garis keturunan langsung dengan Nabi Muhammad SAW.
Namun, di Arab Saudi, sapaan untuk mereka yang memiliki garis keturunan Nabi adalah Sayyid dan Sayyidah (dari cucu Nabi, Husein bin Ali) dan Syarif-Syarifah (dari garis keturunan Hasan bin Ali).
“Jadi, Syeikh itu merupakan sapaan gelar. Jadi seorang habib bisa jadi juga syekh tapi belum tentu habib,” terang Ali Jaber.
Diakui Ali Jaber, dirinya terkadang suka malu, apakah ia layak dipanggil dengan gelar Syekh. Apakah akhlaknya pantas dan berhak menyandang gelar tersebut.
Dia mengatakan, pencantuman gelar ‘Syekh’ sebenarnya menjadi beban tersendiri bagi dirinya. Selain itu, gelar tersebut juga menjadi kontrol agar segala ucapan, sikap, dan perilakunya selalu bertanggung jawab seperti para Syekh dan ulama yang menjadi pendahulu.