JAKARTA - Kuasa hukum Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, Ricky Sihotang menegaskan kliennya tak pernah tahu kelanjutan kasus PT Citra Lampia Mandiri (CLM). Dia hanya memperkenalkan advokat bernama Yosi Andika Mulyadi ke Direktur PT CLM, Helmut Hermawan.
Kata Ricky, perkenalan ini berawal saat Eddy bertemu dengan Anita yang merupakan kawannya. Saat itu, Anita minta Wamenkumham bisa memberi pendampingan hukum yang langsung ditolaknya.
"Dengan jelas dan tegas, Profesor Eddy menolak. Beliau tidak bisa masuk dalam domain itu karena saya adalah penyelenggara negara," kata Ricky kepada wartawan di Jakarta, Selasa, 28 Maret.
Tak menyerah, Anita kembali memaksa Eddy tapi kembali ditolak. Ricky bilang kliennya menyebut punya beberapa kawan yang menjadi pengacara yang bisa mendampingi masalah yang dihadapi Helmut.
Meski mengenalkan, Ricky bilang, Eddy tak memaksa memilih nama tertentu.
'Tapi itu terserah kepada kalian. Mau dipakai, mau tidak, itu urusan kalian. Tidak ada relevansinya kepada saya'," ujarnya menirukan pernyataan Eddy dalam pertemuan tersebut.
Selanjutnya, perkenalan Anita, Helmut, dan Yosi yang merupakan advokat terjadi. Diskusi terjadi di antara ketiganya tapi tidak melibatkan Eddy.
"Nah, pada saat mereka ada kecocokan, Prof Eddy menjelaskan, 'setelah ini silakan saja kalian berdiskusi'," ungkap Ricky.
"Jadi ini di luar domain daripada Profesor Edy, 'kalau memang kalian cocok ya, silakan'," sambungnya.
Kemudian, Yosi dipekerjakan sebagai kuasa hukum PT Helmut. Eddy selanjutnya disebut Ricky tak tahu menahu perjalanan kasus ini.
Ricky juga menegaskan kliennya tak tahu soal pemberian fee terhadap Yosi yang akhirnya dikembalikan. Tapi, Ricky bilang, pemberian tersebut sebenarnya wajar karena dia sudah melakukan pekerjaan.
"Sejak peristiwa itu, Prof Eddy tidak mengerti, tidak mengetahui apa perjalanan daripada case karena beliau sibuk dengan urusan Kementerian Hukum dan HAM, lebih sibuk daripada mengurusi masalah ini," tegasnya.
Sebelumnya, Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso melaporkan Wamenkumham ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan gratifikasi sekitar Rp7 miliar. Penerimaan ini diduga terkait konsultasi dan bantuan pengesahan badan hukum sebuah perusahaan.
Terhadap laporan ini, Eddy kemudian mendatangi komisi antirasuah untuk melakukan klarifikasi. Dia bahkan mengatakan laporan ini menjurus ke fitnah.
"Atas inisiatif kami sendiri, kami melakukan klarifikasi kepada KPK atas aduan IPW yang tendensius mengarah kepada fitnah," kata Edward kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin, 20 Maret.
Dia menyatakan ada sejumlah bukti yang disampaikan dalam proses klarifikasi tersebut. Namun, Eddy tak mau menjelaskan karena semuanya sudah disampaikan ke komisi antirasuah.
Tak hanya itu, dia menyatakan tak akan melaporkan IPW. Ada tiga alasan yang disampaikan, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) memang punya tujuan untuk melakukan pengawasan.
"IPW itu kan LSM, LSM itu kan tugasnya adalah watchdog, ya, silakan lah dia berkoar-koar karena memang tugas dia untuk melakukan sosial kontrol," tegas Eddy saat itu.
Kemudian, jika pejabat diadukan karena dugaan tertentu yang harus dilakukannya adalah melakukan klarifikasi bukan membuat laporan ke polisi. "Ketiga kalau saya melaporkan, itu kan berarti saya masuk dalam sistem peradilan pidana," jelas Eddy.
"Sistem peradilan pidana di manapun the battle model, model berperang. Kalau berperang kan kita harus cari lawan yang seimbang," pungkasnya.