Kejati Bidik Tersangka Korupsi Tambang Besi, Sekda NTB Diperiksa
Ilustrasi korupsi

Bagikan:

MATARAM - Sekretariat Daerah (Sekda) Provinsi Nusa Tenggara Barat Lalu Gita Ariadi (LGA) menjalani pemeriksaan penyidik kejaksaan terkait kasus dugaan korupsi tambang pasir besi di Blok Dedalpak, Kabupaten Lombok Timur.

Juru Bicara Kejati NTB Efrien Saputera di Mataram, membenarkan bahwa pejabat daerah tersebut menjalani pemeriksaan sebagai saksi.

"Iya, LGA (Lalu Gita Ariadi) hari ini diperiksa sebagai saksi," kata Efrien dikutip ANTARA, Jumat 24 Maret.

Terkait materi pemeriksaan, Efrien menolak untuk memberikan keterangan mengingat hal tersebut merupakan kewenangan penyidik. "Nanti saja disampaikan saat persidangan," ujarnya.

Lalu Gita Ariadi menjalani pemeriksaan penyidik sekitar dua jam. Pemeriksaan berlangsung sebelum salat Jumat.

Pejabat daerah itu terlihat kembali datang ke Gedung Kejati NTB menggunakan kendaraan dinas sekitar pukul 14.00 Wita.

Terkait kedatangan kali kedua ini, Efrien mengaku belum mendapatkan informasi tambahan dari penyidik. "Apa lanjut (pemeriksaan), saya cek dahulu," ucap dia.

Dengan adanya pemeriksaan hari ini, Lalu Gita Ariadi tercatat sudah kali kedua memenuhi panggilan penyidik sebagai saksi kasus dugaan korupsi tambang pasir besi.

Belakangan terungkap bahwa Lalu Gita Ariadi dalam kasus ini berkaitan dengan posisi jabatan sebelumnya sebagai Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) NTB.

Selain Sekda NTB, ada belasan saksi pernah menjalani pemeriksaan di hadapan penyidik kejaksaan. Sebagian besar pejabat daerah. Mereka di antaranya Bupati Lombok Timur Sukiman Azmy, mantan Bupati Lombok Timur Ali Bin Dachlan, pejabat Dinas ESDM NTB dan Kementerian ESDM Perwakilan NTB, beserta Kepala Dinas ESDM NTB berinisial ZA yang kini menjadi salah satu dari dua tersangka.

Ada juga pemeriksaan terhadap perusahaan pemegang izin penambangan pasir besi di Blok Dedalpak, PT Anugerah Mitra Graha (AMG) dengan status direktur berinisial RA yang turut mendampingi ZA sebagai tersangka.

Keberadaan PT Semen Baturaja (SMBR) asal Palembang yang berstatus sebagai perusahaan pemborong material hasil tambang pasir besi dari PT AMG  masuk dalam daftar pemeriksaan jaksa.

Penyidik menetapkan ZA dan RA sebagai tersangka, Senin (13/3), dengan menerapkan sangkaan pidana Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

Penyidik menetapkan keduanya sebagai tersangka berdasarkan hasil gelar perkara yang menemukan indikasi penyalahgunaan kewenangan dalam kegiatan tambang pasir besi oleh PT AMG di Blok Dedalpak.

Usai penetapan, penyidik melakukan penahanan dengan menitipkan kedua tersangka di Rumah Tahanan Negara (Rutan) pada Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Mataram.

Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati NTB Ely Rahmawati dalam keterangan sebelumnya meyakinkan bahwa penyidikan kasus ini belum tuntas sampai penetapan dan penahanan kedua tersangka.

Melainkan, masih ada serangkaian kegiatan untuk menguatkan alat bukti, baik dari keterangan saksi, kedua tersangka, dan kerugian negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB.

Dengan agenda demikian, Ely menyebutkan adanya potensi penetapan tersangka baru dari kasus yang berjalan pada tahap penyidikan sejak 18 Januari 2023 sesuai dengan Surat Perintah Kepala Kejati NTB Nomor: Print-01/N.2/Fd.1/01/2023.

Dalam kasus ini, PT AMG terungkap mengantongi legalitas izin penambangan pasir besi di atas lahan seluas 1.348 hektare. Izin tersebut berlaku selama 15 tahun terhitung sejak 2011 hingga 2026.

Izin itu terbit berdasarkan Surat Keputusan Bupati Lombok Timur Nomor: 2821/503/PPT.II/2011 tentang Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi Bahan Galian Pasir Besi dan Mineral Pengikut di Blok Dedalpak yang masuk dalam Kecamatan Pringgabaya dan Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Lombok Timur.

Dalam periode tahun 2021 sampai 2022 terindikasi PT AMG tetap melaksanakan penambangan tanpa mengantongi persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) tahunan dari Kementerian ESDM RI.