Bagikan:

DENPASAR - Kelompok Pemuda, ST Tunas Muda, Banjar Dukuh Mertajati, Desa Pakraman Sidakarya, Kecamatan Denpasar Selatan, Bali, membuat sebuah Ogoh-ogoh dari limbah alami atau tumbuh-tumbuhan.

Ogoh-ogoh dengan tema, "Kali Citta Pralaya”. Artinya dampak dari perang ini cukup menarik, karena dihiasi dengan tumbuhan-tumbuhan seperti cabai kering, daun lamtoro kering, jeruk purut kering, tulang daun nangka, biji-bijian kacang hijau, limbah kelapa dan limbah bambu.

"Kalau cabai kurang lebih 10 kilogram, daun kering nangka 8 kilogram kita ambil limbah, dan kulit jeruk purut 7 kilogram lebih," kata Ketua ST Tunas Muda Banjar Dukuh Mertajati, Pageh Wedhanta (24), Selasa, 21 Maret.

Kelompok pemuda ini sudah membuat Ogoh-ogoh sejak tahun 2015 dengan memakai bahan-bahan organik. Sebelumnya, Ogoh-ogoh dibuat dari limbah bekas masker dan arang.

"Jadi yang menurut kami yang cocok dengan tekstur ogoh-ogoh itu yang kami pakai, dan kebetulan sekarang masuk ke tumbuh-tumbuhan, karena menurut kami cocok untuk tekstur ogoh-ogohnya itu yang kami pakai," imbuhnya.

Ogoh-ogoh dengan tinggi sekitar 4,5 meter ini sudah dibuat sejak akhir Desember 2022 lalu. Proses yang paling lama yakni pembuatan bahan lapisannya yaitu mengambil tulang daun nangka.

"Selama proses tulang daun itu, satu biji daun harus kami sikat sampai dapat tulang daunnya atau seratnya itu yang mungkin perlu banyak waktu. Kita juga melakukan percobaan kadang-kadang udah dapat banyak, tau-tau tidak sesuai tekstur Ogoh-ogohnya. Kita coba lagi dan buat lagi dari awal dan akhirnya itu masuk ke tekstur ogoh-ogoh baru kita lanjut lagi," ujarnya.

Total biaya pembuatan Ogoh-ogoh ini mencapai Rp40 juta. Ogoh-ogoh ini terdiri dari tiga bagian.

Bagian terbawah disebut Bedawang Nala yang merepresentasikan bumi. Di Bagian tengah menggambarkan korban dari perang berupa nyawa, harta, dan harapan. Selanjutnya, untuk lapisan teratas menggambarkan raksasa yang tak memiliki tangan dan kaki. 

Simbol tersebut, rupanya menggambarkan sebuah sosok dengan pikirannya bisa menghancurkan dunia.

FOTO: Dafi-VOI

"Kami ambil konsep ogoh-ogoh tentang konflik perang. Jadi dalam ogoh-ogoh ini kami berusaha mempresentasikan tentang dampak yang diakibatkan oleh perang.  Kalau raksasa kami simbolisasikan sebagai sosok pemimpin atau penguasa yang tidak memiliki tangan dan kaki tapi tangan dan kakinya itu ada di kepala itu simbolisasinya" ujarnya.

"Bahwa sosok itu tidak perlu turun tangan dan kaki untuk membuat sesuatu kacau. Dia cukup pakai akal bulusnya saja untuk mengasut orang-orang agar dunia ini menjadi kacau. Raksasa ini juga memiliki banyak topeng jadi dia memiliki banyak paras untuk menyembunyikan sifat raksasanya," ujarnya.