JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut wakil ketuanya, Alexander Marwata tak akan ikut ambil keputusan dalam proses penyelidikan eks pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu Rafael Alun. Penyebabnya, keduanya sama-sama lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).
"Jadi kalau pendapat, pendapat hukum itu kan boleh saja (menyampaikan, red). Ini kan yang dimaksudkan di dalam perkom-nya (peraturan komisi) adalah ketika mengambil satu keputusan," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Kamis, 16 Maret.
Ali menerangkan kejadian semacam ini bukan kali pertama terjadi. Dia mencontohkan saat dirinya menjadi jaksa penuntut umum (JPU) kondisi serupa pernah terjadi.
Setelah dirinya mengumumkan hubungan antara dia dan terdakwa kepada rekannya, Ali tak boleh ikut mengambil keputusan demi mencegah konflik kepentingan. "Kalau pendapat hukumnya, ya itu sah-sah saja kan untuk memberikan masukan," jelas dia.
"Tapi untuk mengambil keputusannya, itu yang kemudian tentu sesuai dengan perkomnya kemudian ada pembatasan," sambung Ali.
Ali memastikan penyelidikan harta kekayaan Rafael Alun akan terus berjalan. "Dan saya kira beliau juga sudah sampaikan kepada teman-teman bahwa (satu almamater dengan Rafael Alun, red) tidak mempengaruhi proses penyelidikan. Yang artinya Pak Alexander akan mendukung proses ini," ungkapnya.
BACA JUGA:
Diberitakan sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencurigai adanya potensi konflik kepentingan dalam proses penyelidikan harta kekayaan Rafael Alun. Kecurigaan ini muncul karena Rafael dan Alexander alumni STAN.
"Sejumlah informasi salah satu pimpinan KPK, Alexander Marwata, diduga lulus dari pendidikan STAN pada tahun yang sama dengan Rafael, yaitu tahun 1986," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya kepada VOI, Rabu, 15 Maret.
Kurnia beranggapan fase penyelidikan harta kekayaan Rafael Alun harus bebas dari konflik kepentingan. Siapapun yang punya kedekatan dengan ayah Mario Dandy itu harus mendeklarasikan potensi benturan kepentingan.
Deklarasi itu juga disebut Kurnia, sesuai dengan Pasal 10 ayat (3) huruf a Peraturan Komisi Nomor 5 Tahun 2019. "Alexander harus secara terbuka mendeklarasikan potensi benturan kepentingannya kepada Pimpinan KPK lain dan Dewan Pengawas," tegasnya.