Kemenag Pamekasan Kerja Sama Densus 88 Cegah Paham Radikal
Diklat moderasi beragama guna mencegah paham radikal oleh Kemenag Pamekasan bekerja sama dengan Densus 88 Antiteror Mabes Polri di Pamekasan, Jawa Timur, Rabu. (Abd. Aziz)

Bagikan:

PAMEKASAN - Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Pamekasan, Jawa Timur bekerja sama dengan Datasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri menggelar pendidikan moderasi beragama guna mencegah penyebaran paham radikal di wilayah itu.

"Selain sebagai upaya untuk mencegah paham radikal, pendidikan moderasi beragama ini juga merupakan program prioritas Kemenag RI guna mewujudkan tatanan masyarakat yang terbuka dan saling menghargai terhadap kelompok lain yang memiliki paham yang berbeda," kata Pelaksana Harian (Plh) Kepala Kemenag Pamekasan Hartono dilansir ANTARA, Rabu, 15 Maret.

Hadir sebagai narasumber dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan moderasi beragama itu anggota Densus 88 Mabes Polri AKBP Mohammad Dhofir dan akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Prof. Nur Syam.

Para peserta adalah Ketua Takmir Masjid se-Kabupaten Pamekasan, serta organisasi wanita yang tergabung dalam Majelis Taklim Dharma Wanita Persatuan Pamekasan.

Menurut Hartono, wawasan tentang moderasi beragama perlu disampaikan, agar tercipta pemahaman yang plural, dan saling menghargai adanya paham yang berbeda, bukan menjadikan orang lain yang berbeda paham sebagai musuh.

"Yang perlu kita pahami bersama, bahwa penafsiran tentang agama akhir-akhir ini semakin beragam, dan oleh karena itu, perlu adanya penyampaian ilmu-ilmu moderasi beragama ini," katanya.

Hartono menjelaskan, moderasi beragama merupakan salah satu program unggulan Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas, sebagai salah satu program melalui rekayasa sadar kepada umat beragama di Indonesia dalam bentuk pendidikan dan pelatihan.

Pemateri dari Densus 88 Mabes Polri AKBP Mohammad Dhofir dalam kesempatan itu menjelaskan, ada banyak penyebaran paham radikalisme yang dilakukan selama ini. Di antaranya, melalui kajian keagamaan, lembaga pendidikan, media sosial dan lain sebagainya.

"Media sosial memiliki kerawanan yang lebih besar dibanding media konservatif karena sifatnya yang terbuka dan nyaris tanpa saring. Sehingga masyarakat diimbau harus waspada dan berhati-hati dalam mengunduh dan menyebarkan berita yang tidak bisa dipastikan tingkat kebenarannya," katanya.

Sementara, Prof Nur Syam meminta agar paham radikal jangan sampai menyasar kepada generasi muda. Apalagi di tengah kondisi yang kini makin kuat adanya gerakan-gerakan keagamaan yang membenarkan tindak kekerasan atas nama agama.

"Sudah selayaknya masyarakat, organisasi keagamaan dan organisasi lain harus terlibat dalam membantu tugas Densus 88 dan Badan Penanggulangan Paham Terorisme dalam rangka menjaga bangsa ini dari gerakan yang membahayakan persatuan dan kesatuan," katanya.