JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani mengakui pertumbuhan penjualan secara digital meningkat pesat di tengah pandemi COVID-19. Namun, dipastikan peningkatan ini belum mampu menutup pendapatan penjualan secara offline.
Seperti diketahui, pemerintah kembali mengeluarkan aturan terkait dengan penanganan pandemi COVID-19 yaitu pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di wilayah Jawa-Bali. Kebijakan ini mulai berlaku efektif pada 11 hingga 25 Januari 2021.
Dalam kebijakan baru ini, jam operasional dunia bisnis khususnya pusat perbelanjaan hanya boleh sampai pukul 19.00 WIB. Sementara, restoran hanya boleh melayani makan di tempat atau dine in sebanyak 25 persen dari sebelumnya 50 persen.
"Jadi memang kalau penjualan secara online itu tumbuh tinggi saat ini. Tapi, tidak bisa menggantikan pendapatan dari yang jualan offline. Sektor makanan dan minuman itu ternyata kontribusi yang offline jauh lebih besar ketimbang yang online," ujarnya, dalam diskusi virtual, Jumat, 8 Januari.
Menurut Hariyadi, aneka jenis produk yang dipasarkan secara online dipastikan tidak semuanya laku dibeli konsumen. Khususnya produk-produk yang digunakan di luar kebutuhan sehari-hari.
"Jadi, produk online yang diminati itu lebih untuk digunakan dalam kebutuhan harian. Seperti untuk kebutuhan konsumsi itu naik. Tapi tetap enggak bisa menggantikan (pendapatan) dari offline," tuturnya.
BACA JUGA:
Sebelumnya, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) memproyeksi omzet usaha di bidang restoran anjlok 70 persen saat PPKM Jawa Bali pada 11 hingga 25 Januari 2021 mendatang.
Proyeksi ini muncul karena mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, realisasi rata-rata penurunan omzet pengusaha restoran mencapai 50 persen sampai 60 persen sepanjang 2020. Penurunan omzet bisnis tersebut terjadi karena penerapan PSBB jilid pertama, masa transisi, PSBB jilid kedua, masa transisi lagi, hingga pengetatan mobilitas ketika libur akhir tahun kemarin.
Kedua, proyeksi juga mempertimbangkan skala pemberlakuan PPKM yang lebih luas, yaitu mencakup pulau Jawa dan Bali.
Ketiga, aturan keterisian konsumen yang makan di tempat semakin minim, yaitu hanya 25 persen dari sebelumnya 50 persen. Padahal, pesanan dari rumah atau ambil sendiri (take away) tidak cukup mampu menutup potensi pendapatan dari makan di tempat (dine in).