Bagikan:

JAKARTA - Bagi sebagian perokok, beralih ke produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik merupakan salah satu cara untuk mengurangi risiko kesehatan. Mereka memahami bahwa berdasarkan beberapa penilitian yang ada, rokok elektrik adalah alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan rokok dan dapat merupakan salah satu upaya menghentikan kebiasaan merokok.

Akan tetapi rokok elektrik yang dikategorikan sebagai Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) di Indonesia, dianggap relatif mahal bagi beberapa orang. Konsumen harus merogoh kocek cukup dalam untuk dapat menggunakan produk ini.

Sebagai gambaran, rata-rata harga cairan rokok elektrik alias liquid vape di Indonesia berkisar Rp100 ribu-Rp250 ribu per botol. Sementara peralatan rokok elektrik dijual dengan rentang harga Rp100 ribu-Rp3 juta tergantung pada merek dan kualitasnya.

Ilham Riski (32), pemilik jaringan binatu di Jakarta yang menjadi perokok aktif selama bertahun-tahun mengatakan dirinya bertahan pada rokok konvensional karena cenderung lebih murah.

“Mau sih (beralih) ke produk tembakau alternatif seperti vape, karena sudah ada penelitian di luar negeri yang mengatakan bahwa produk ini lebih rendah risiko dibandingkan terus merokok, namun biaya awalnya sangat tinggi,” katanya dalam keterangan yang diterima VOI, Sabtu 8 Februari.

Senada dengan Ilham, Ferdi Hasan (30), seorang karyawan swasta yang berkantor di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, sebenarnya tergiur untuk beralih ke rokok elektik seperti yang sudah dilakukan oleh temannya.

Ketertarikannya itu dikarenakan sejak menggunaan rokok elektrik, beberapa temannya sudah bisa mengurangi konsumsi rokok. “Selain faktor kesehatan, area untuk merokok (di kawasan perkantoran) semakin sulit, jadi saya harus mencari alternatif yang lebih baik,” katanya.

Menurut Ferdi, agar pengguna rokok konvesional mau beralih ke rokok elektrik, harga rokok elektrik seharusnya tidak terlalu mahal. Apalagi rokok elektrik diklaim lebih rendah risiko. “Harusnya pemerintah mengatur harga yang pas di kantong masyarakat pada umumnya, jangan hanya untuk kalangan tertentu saja,” kata Ferdi.

Saat ini, harga jual eceran (HJE) rokok elektrik diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.010/2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Dalam aturan tersebut rokok elektrik yang masuk dalam kategori HPTL dikenakan tarif cukai maksimal berdasarkan UU Cukai yakni sebesar 57 persen dari HJE.

Di akhir tahun 2019, Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi mengungkapkan rencana pihaknya untuk menaikkan HJE rokok elektrik mengikuti kenaikan cukai yang dialami oleh rokok. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan aspirasi para perokok dewasa.

Bea Cukai melalui Direktur Teknik dan Fasilitas Cukai Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto mengungkapkan dari total penerimaan cukai IHT, industri HPTL hanya berkontribusi sebesar Rp426,6 miliar atau kurang dari 1 persen.

"Untuk sektor yang baru dikenakan cukai, dan ditambah pelaku usahanya juga baru, perolehan ini cukup signifikan ditengah sulitnya memompa penerimaan dari perpajakan secara umum,” ujar Nirwala. 

Sejatinya akses untuk mendapatkan produk alternatif yang lebih baik merupakan hak setiap individu. Namun karena terkendala masalah harga, membuat pilihan setiap individu menjadi terbatas.

Ketua dan Pendiri Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST) Marzuki Darusman menegaskan, dunia bisnis saat ini terus melakukan berbagai upaya untuk mengurangi risiko kesehatan melalui inovasi-inovasi. Hal itu dilakukan guna menghadapi masa depan yang lebih baik.

Produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik ini merupakan salah satu inovasi yang ditujukan untuk mengurangi risiko kesehatan yang timbul dari kebiasaan merokok. “Setiap individu paling tidak harus menyadari hak mereka atas informasi dan hak mereka untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmiah,” katanya.

Ia juga mengingatkan agar pelaku usaha tidak bisa hanya menunggu pemerintah untuk mengeluarkan aturan perundang-undangan yang dirancang untuk melindungi pelanggan. Melainkan harus proaktif menginformasikan kepada publik tentang inovasi ilmiah yang berpotensi mengurangi bahaya bagi kesehatan mereka.

“Pelaku usaha harus secara aktif menginformasikan kepada publik tentang inovasi ilmiah yang mungkin kurang berbahaya bagi kesehatan mereka. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan kajian ilmiah mendalam mengenai produk ini agar masyarakat mendapatkan informasi yang valid dan lebih mudah dipahami,” tegas Marzuki.