Bagikan:

JAKARTA - Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai mantan terpidana dengan hukuman di atas lima tahun diperbolehkan mencalonkan diri sebagai anggota legilatif setelah lima tahun bebas murni.

Menurut Hasyim, Putusan MK Nomor 12/PUU-XXI/2023 itu memudahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dalam merumuskan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota.

"Dengan demikian, (putusan tersebut) memudahkan KPU dalam merumuskan norma dalam PKPU Pencalonan Anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota karena putusan MK tersebut dan putusan terdahulu terdapat perlakuan setara," ujar Hasyim kepada wartawan dikutip ANTARA, Selasa, 28 Februari.

Lebih lanjut, ia menjelaskan putusan terdahulu itu adalah Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022. Namun dalam putusan itu, calon anggota legislatif yang diatur terbatas pada calon anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Dengan demikian, KPU RI ragu untuk menerapkan substansi serupa pada PKPU tentang Pencalonan Anggota DPD.

"Putusan tersebut (Putusan MK Nomor 12/PUU-XXI/2023) istiqomah dengan Putusan MK sebelumnya (Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022), yakni substansi norma syarat yang sama atau setara bagi calon kepala daerah, calon anggota DPR dan DPRD provinsi/kabupaten/kota, dan calon anggota DPD," ujar Hasyim.

Sebelumnya, Putusan MK mengenai mantan terpidana dengan hukuman di atas lima tahun diperbolehkan mencalonkan diri sebagai anggota DPD setelah 5 tahun bebas murni dari penjara itu disampaikan dalam persidangan di Jakarta, Selasa siang.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ujar Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman.

Melalui Putusan Nomor 12/PUU-XXI/2023 itu, MK menyatakan Pasal 182 huruf g UU Pemilu tidak berkekuatan hukum tetap.

Pasal tersebut menyatakan, "tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana."

Mahkamah Konstitusi mengubahnya menjadi, "(i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa."

Lebih lanjut, Mahkamah Konstitusi juga menambahkan, "(ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang."