JAKARTA - Rusia tidak akan melanjutkan partisipasi dalam perjanjian kontrol senjata nuklir START dengan Amerika Serikat, sampai Washington mendengarkan posisi Moskow, kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov dalam sebuah pernyataan pada Hari Selasa.
Presiden Rusia Vladimir Putin pekan lalu menyampaikan peringatan tegas kepada Barat terkait perang di Ukraina, mengumumkan keputusan Rusia untuk menangguhkan partisipasi dalam perjanjian News START, setelah menuduh Barat terlibat langsung dalam upaya menyerang pangkalan udara strategisnya.
Dalam sebuah wawancara dengan harian Izvestia, Dmitry Peskov mengatakan sikap kolektif Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat terhadap Moskow perlu diubah.
"Keamanan satu negara tidak dapat dijamin dengan mengorbankan keamanan negara lain," kata Peskov, melansir Reuters 28 Februari.
Lebih jauh ia juga mengatakan, langkah NATO untuk mempersenjatai Ukraina, menjadikan blok tersebut tidak lagi hanya lawan di situasi tertentu, tetapi telah menjadi musuh.
Ketika ditanya dalam situasi apa Rusia akan kembali ke perjanjian tersebut pekan lalu, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan: "Semuanya akan tergantung pada posisi Barat... Ketika ada kesediaan untuk mempertimbangkan kekhawatiran kami, maka situasinya akan berubah."
Diketahui, Perjanjian New START 2010 membatasi hulu ledak nuklir yang dikerahkan setiap negara hingga 1.550, sementara rudal serta pesawat pengebom berat yang dapat dikerahkan hingga 700.
Perjanjian yang ditangguhkan itu memberikan hak kepada masing-masing pihak untuk menginspeksi situs senjata satu sama lain, meskipun kunjungan telah dihentikan sejak 2020 karena COVID-19 dan perang Ukraina, mewajibkan kedua belah pihak untuk memberikan pemberitahuan terperinci tentang jumlah, lokasi, dan karakteristik teknis senjata nuklir strategis mereka.
BACA JUGA:
Selain itu, masing-masing pihak harus memberi tahu pihak lainnya, misalnya, ketika rudal balistik antarbenua akan diangkut dari fasilitas produksi.
Menurut Departemen Luar Negeri AS, kedua belah pihak telah bertukar lebih dari 25.000 notifikasi sejak perjanjian tersebut mulai berlaku pada tahun 2011.
Sementara analis keamanan mengatakan, potensi runtuhnya perjanjian ini, atau kegagalan untuk menggantinya saat berakhir pada 2026, dapat memicu perlombaan senjata baru di saat yang berbahaya, ketika Presiden Putin semakin menggambarkan perang Ukraina sebagai konfrontasi langsung dengan Barat.