Bagikan:

JAKARTA - Melonjaknya harga kedelai impor di pasaran membuat banyak pengrajin tahu-tempe yang protes, bahkan sampai melakukan aksi mogok produksi selama tiga hari. Kondisi ini berdampak langsung pada penjual kedelai yakni penurunan jumlah pembeli yang drastis.

Penjual kedelai, Karbani saat ditemui VOI, Kamis 7 Januari mengatakan, kenaikan harga kedelai ini membuat pengrajin tempe bingung. Sebab, dengan harga bahan baku yang mencapai Rp9.100 per kilogram (kg) keuntungan yang diperoleh sangat tipis.

"Marah, tapi mau gimana. Emang kenyataannya kacang mahal mau ngomong apa? Mau protes juga protes sama siapa, yang punya kacang siapa? Orang-orang atas. Jadi kami tidak bisa ngomong. Sekarang dibeli, dibikin, enggak ada untungnya. Iya ada (untung) tapi dikit, bisa buat beli beras aja syukur," tuturnya, saat ditemui di Komplek PIK KOPTI, Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, Kamis, 7 Desember.

Kata Karbani, saat ini harga modal kedelai adalah Rp8.900 sebelumnya Rp7.000. Harga jual kembali di angka Rp9.100. Sementara untuk per kuintal sendiri harganya mencapai Rp700 dari tengkulak dan dijual Rp910 ribu.

Kenaikan ini, kata Karbani tentu memberatkan pengrajin tahu-tempe. Imbasnya, pembeli kacang kedelai pun berkurang drastis. Karena, banyak dari pengrajin tahu-tempe memilih tidak melakukan produksi.

"Ada sampai sekarang juga ada (yang beli). Walaupun mahal tetap dibeli. Tapi pembeli turun drastis 50 hingga 70 persen karena tidak bisa membagi (antara harga kedelai, ongkos produksi dan harga jual)," ucapnya.

Karbani berharap harga kedelai kembali turun dan stabil. Jika harga kedelai terus melonjak bahkan sampai menembus Rp1 juta per kwintal, akan banyak penjual kedelai yang memilih tutup.

Karbani, seorang pengusaha tempe-tahu. (Mery Handayani/VOI)

"Kalau bisa tembus Rp1 juta per kuintal mending tutup. Untungnya pemerintah melihat ini dan jangan sampai naik lagi. Pemerintah harus bisa bagaimana caranya (harga kedelai turun) kasihan sama rakyatnya. Standar sesuai dengan ya naik tapi jangan tiap hari. Kasian juga kita," tuturnya.

Terkait dengan jenis kedelai yang dijualnya, Karbani mengatakan dirinya hanya menjual kedelai impor. Bukan karena tak ingin menjual kedelai lokal, namun harganya jauh lebih mahal. Terlebih, pasokannya tidak ada.

"Produsen lokal di sini enggak ada pak produsen lokal enggak pernah muncul, perbandingan harga pun kita enggak tahu," jelasnya.

Seperti diketahui, melonjaknya harga kedelai impor sempat membuat pengrajin tahu dan tempe memutuskan untuk berhenti melakukan penjualan selama 3 hari, mulai tanggal 1 Januari kemarin hingga 3 Januari. Akibatnya, pasokan tempe dan tahu menjadi sangat langka di lapangan.

Langkah itu mau tidak mau menjadi opsi terakhir bagi pengrajin karena hingga kini harga kedelai terus melonjak tajam. Harga kedelai bisa terus naik setiap harinya. Kondisi itu menyulitkan bagi pengrajin, karena kenaikannya sudah tidak lagi wajar.

Mentan Syahrul Temui Pengusaha Tempe

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo meluncurkan operasi pasar stabilisasi harga kedelai. Syahrul juga menyempatkan diri menemui pengrajin tahu-tempe untuk menanyakan bagaimana produksi mereka di tengah kenaiakan harga kedelai.

Syahrul mengatakan beberapa pengrajin tahu-tempe yang ditemuinya mengeluhkan hal yang sama yakni kaiknya harga kedelai. Sementara untuk pasokan kedelai tidak ada masalah.

"Keluhannya karena harga naik saja. Kalau dia tidak naikkan dia rugi kan. Itu juga harus kita jaga," tuturnya.

Salah satu pengrajin yang ditemui Syahrul, Abu Ajis (25) mengatakan akibat kenaikan harga kedelai impor harga tahu pun ikut melonjak. Hal ini berdampak pada jumlah pembeli yang berkurang.

"Harga tahu naik 20 persen. Kalau tempe kita sudah tidak bisa menaikkan. Jadi ukuran tempenya saja yang kami kurangi," kata Abu.

Abu mencontohkan sebelum harga kedelai impor mengalami kenaiakan harga pengrajin dapat menjual tahu dengan harga Rp500 per buah. Namun, karena kedelai naik harganya menyesuaikan menjadi Rp600.

Lebih lanjut, Abu menjelaskan meski pun harga kedelai naik pihaknya tetap membeli. Sebab, harga kedelai lokal jauh lebih mahal jika digunakan sebagai dasar produksi.

"Kita pakai kedelai impor. Karena lokal harganya dua kali lipat dari impor. Kalau lokal Rp16.000 per kilogram (kg). Sedangkan impor Rp9.300 per kg," tuturnya.