Ditahan KPK, Penyuap Hakim Yustisial MA Ternyata Berikan Suap hingga Rp3,7 Miliar
Penyuap Hakim Yustisial atau Panitera Pengganti Mahkamah Agung (MA) Edy Wibowo, Wahyudi Hardi/ANTARA

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan penyuap Hakim Yustisial atau Panitera Pengganti Mahkamah Agung (MA) Edy Wibowo, Wahyudi Hardi. Ketua Pengurus Yayasan Rumah Sakit (RS) Sandi Karya Makassar itu diduga memberi uang hingga Rp3,7 miliar.

"Terkait kebutuhan dari proses penyidikan, tim penyidik menahan tersangka WH selama 20 hari pertama," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat, 17 Februari.

Wahyudi akan ditahan di Rutan KPK pada Pomdam Jaya Guntur. Penahannya akan diperpanjang sesuai kebutuhan penyidik komisi antirasuah.

Dalam kasus ini, Ghufron menjelaskan kasus ini bermula saat Wahyudi yang merupakan Ketua Pengurus Yayasan Rumah Sakit (RS) Sandi Karya Makassar menjadi perwakilan pihak termohon penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) di Pengadilan Negeri Makassar. Permohonan ini diajukan oleh PT Mulya Husada Jaya.

Dari putusan itu, RS SKM dinyatakan pailit. Pihak rumah sakit kemudian mengajukan banding karena mereka tak terima dengan putusan itu.

Selanjutnya, Wahyudi dengan inisiatifnya menyiapkan uang dan berkomunikasi dengan Muhajir Habibie dan Albasari yang merupakan pegawai negeri sipil Mahkamah Agung (MA). Saat itu, keduanya diminta membantu mengawal dan memonitor kasasi yang berujung pada pemberian uang.

"Sebagai bentuk komitmen tadi, WH diduga memberikan sejumlah uang secara bertahap hingga mencapai Rp3,7 miliar kepada EW," ungkap Ghufron.

Pemberian uang itu tidak dilakukan secara langsung tapi melalui Muhajir dan Albasari. "Penyerahan uang dilakukan saat proses kasasi masih berlangsung di MA," tegasnya.

"Pemberian sejumlah uang tersebut diduga antara lain mempengaruhi isi putusan dan setelah uang diberikan maka putusan kasasi yang diinginkan WH dikabulkan dan isi putusan menyatakan Rumah Sakit SKM tidak dinyatakan pailit," sambung Ghufron.

Akibat perbuatannya, Wahyudi disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b Pasal 13 atau Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Nomor Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.