JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly menegaskan Pasal 100 KUHP baru bukan disiapkan untuk meringankan vonis mati Ferdy Sambo. Pembahasan perundangan ini sudah dilakukan jauh sebelum terjadinya kasus pembunuhan berencana Yosua Nopriansyah atau Brigadir J terjadi.
"Aduh... itu dibahas jauh sebelum ini (vonis sambo, red)," kata Yasonna kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 16 Februari.
Adapun bunyi Pasal 100 KUHP baru itu adalah:
Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:
a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri;
b. peran terdakwa dalam tindak pidana; atau
c. ada alasan yang meringankan
Kembali ke Yasonna. Politisi PDI Perjuangan ini bilang pasal tersebut masuk karena keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Terpidana harus mendapatkan kesempatan sebelum dieksekusi mati.
"Jadi bukan berarti, jauh sebelum Sambo sudah dibahas. Gila saja cara berpikirnya. Sudah aneh saja," tegasnya.
Sebelumnya, majelis hakim yang dipimpin Wahyu Iman Santoso membacakan putusan Ferdy Sambo pada Senin, 13 Februari kemarin. Eks Kadiv Propam Polri itu dijatuhi vonis mati karena terbukti mendalangi pembunuhan berencana anak buahnya, Brigadir J.
BACA JUGA:
Sambo dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 Ayat 1 ke (1) KUHP. Hakim mempertimbangkan hal yang meringankan dan memberatkan.
Pertimbangan yang memberatkan, Ferdy dianggap berbelit ketika memberikan kesaksian. Dia juga melakukan tindak pidana kepada ajudan sendiri dan menimbulkan kegaduhan luar biasa.
Selain itu, Ferdy Sambo juga dinilai mencoreng dan menyeret banyak anggota polisi kepada kasus hukum serta tak mengakui perbuatannya. Sementara untuk yang meringankan majelis hakim tidak melihatnya.