Akurasi Data Kemiskinan di Jakarta Dipertanyakan, Pengamat: Bisa Saja Warga Pura-pura Miskin Agar Dapat Bansos
Potret kemiskinan di Jakarta/ Foto: Bitor Ekin Putra

Bagikan:

JAKARTA - Angka kemiskinan di Jakarta yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta mulai muncul kritikan. Salah satu penelitian yang membuat heboh publik adalah wilayah paling miskin di Jakarta terdapat di kawasan Kampung Apung, Jakarta Barat dan kawasan Nelayan di Cilincing, Jakarta Utara.

Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Indonesia, Azas Tigor Nainggolan mengatakan, seharusnya BPS Jakarta menguji data dengan terjun ke lapangan sebelum dipublikasi. Pengujian kembali data lapangan agar data tersebut akurat.

"Belum diujinya kembali data yang didapat ke lapangan, tapi sudah langsung dipublikasi adalah kelemahan dan kesalahan dari BPS Jakarta. Sebagai pimpinan BPS di Jakarta seharusnya mengetahui betul kebutuhan menguji kembali ke lapangan data yang sudah di dapat, agar data menjadi akurat. Nah data akurat itulah yang dipublikasi agar tidak membuat kekacauan dan kegaduhan di publik," kata Azas Tigor kepada VOI, Selasa, 14 Februari.

Menurut Azas Tigor, rilis yang dikeluarkan BPS Jakarta patut dipertanyakan. Dia pun heran, bagaimana BPS Jakarta mendapatkan data dan mengetahui bahwa adanya kampung di Jakarta Utara yang masih diterpa kemiskinan ekstrim.

"Secara pribadi, saya mempertanyakan secara khusus cara mendapatkan datanya di kampung? Menurut pengalaman saya bahwa penelitian di kampung, biasanya yang menjalankan adalah kader-kader warga yang diorganisir oleh Kelurahan. Nah kalo disuruh lakukan survey atau pengumpulan data, saya mendapatkan informasi para kader itu hanya menyalin data keluarga dari para RT. Para kader itu tidak datang ke rumah dan bertemu langsung dengan warga target penelitian," bebernya.

Manusia silver di trotoar jalan sebagai potret kemiskinan di kota Jakarta/ Foto: Bitor Ekin Putra 

Azas menambahkan, data yang dimiliki para RT itu data lama dan para kader warga ini sering tidak mengetahui perubahan kekinian hidup warga di kampung. Misalnya warga yang sudah alami perkembangan ekonomi akan tetapi dalam catatan ketua RT setempat terus dicatat sebagai warga miskin karena datanya tidak pernah diperbaharui secara rutin.

"Sering kali juga warga lebih suka dicatat atau tercatat sebagai warga miskin mendapatkan bantuan sosial (Bansos). Akibatnya, warga yang benar-benar miskin seringkali tidak mendapatkan bantuan dari Pemda Jakarta karena mereka tidak terdata sebagai warga miskin di data Ketua RT-nya," ucapnya.

Azas Tigor melanjutkan, tidak tercatatnya warga yang berubah jadi warga miskin karena data warga di Ketua RT diduga jarang diperbaharui.

"Jika para pengumpul data hanya mencatat dari data dari ketua RT tentu hasilnya penelitiannya tidak akurat karena diambil dari catatan yang tidak diperbaharui," ujarnya.

Oleh karenanya, sambung Azas, warga kerap dicap hidup dalam kondisi miskin dan alami kesulitan hidup hanya karena data tidak valid. Bahkan, imbas dari data yang tidak valid tersebut berdampak pada masalah lainnya seperti pembagian bansos yang tidak tepat sasaran.

Azas menjelaskan, banyak penelitian dilakukan di kampung di Jakarta datanya kurang akurat karena mekanisme atau cara pengambilan datanya patut dipertanyakan. Penelitian akan lebih akurat jika melibatkan kader warga karena dianggap lebih mengenal, menguasai dan mengetahui kondisi warga di kampung bersangkutan. Dan harus dilakukan pengawasan lapangan oleh penyelenggaranya seperti BPS Jakarta.

"Artinya, penelitian yang dilakukan oleh BPS Jakarta dari sisi mekanisme penelitian di lapangan masih patut dipertanyakan. Fakta di lapangan ternyata berbeda dengan data yang dihasilkan oleh penelitian BPS Jakarta," katanya.

Seperti diketahui, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta, wilayah dengan angka kemiskinan ekstrem paling banyak berada di Jakarta Utara.

"Berdasarkan data makro kami, kemiskinan ekstrem paling banyak di Jakarta Utara," kata Kepala Bagian Umum BPS DKI Jakarta Suryana kepada wartawan, Senin, 30 Januari.

Potret kemiskinan ekstrem ini dicatat BPS DKI pada periode Maret 2022. Tercatat, lebih dari 35 ribu atau 1,94 persen warga Jakarta Utara berada pada kategori miskin ekstrem.

Pemulung di kawasan Tanah Abang Jakarta Pusat sebagai potret kemiskinan di kota Jakarta/ Foto: Bitor Ekin Putra 

Sementara, warga miskin ekstrem di Jakarta Barat sebanyak 11 ribu orang (0,42 persen), Jakarta Pusat 4 ribu orang (0,5 persen), Jakarta Timur 18 ribu orang (0,61 persen), Jakarta Selatan 25 ribu orang (1,12 persen), dan Kepulauan Seribu 390 orang (1,49 persen).

Secara garis besar, tingkat kemiskinan ekstrem di Jakarta pada Maret 2022 sebesar 0,89 persen. Angka ini meningkat sebesar 0,29 persen dari tahun 2021 sebesar 0,6 persen.

Seiring dengan itu, pemerintah memiliki target menghapus angka kemiskinan ekstrem menjadi 0 persen pada tahun 2024 mendatang.

Sementara, Kepala Badan Pusat Statisik (BPS) Margo Yuwono menekankan pentingnya perbaikan sistematik dalam aspek tata kelola penanggulangan kemiskinan, termasuk tata kelola data. Menurut Margo, upaya perbaikan tersebut dibutuhkan guna mencapai target penurunan tingkat kemiskinan pada 2024 menjadi 7 persen dan kemiskinan ekstrem sebesar nol persen.