Bagikan:

JAKARTA - Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) DKI Jakarta mencatat ada peningkatan jumlah warga pendatang baru yang masuk Jakarta selama beberapa tahun terakhir.

Kepala Disdukcapil DKI Jakarta Budi Awaluddin menuturkan, sebanyak 113.814 orang masuk Jakarta pada tahun 2020, 139.740 orang juga masuk Ibu Kota pada 2021, dan sebanyak 151.752 orang pada tahun 2022.

Selama tiga tahun terakhir, komposisi pendatang baru berjenis kelamin perempuan lebih banyak daripada laki-laki.

"Kalau kita lihat, jumlah pendatang masuk ke Jakarta dari 2020 ke 2021 sebesar 18,55 persen. Lalu, 2021 ke 2022 sebesar 7,92 persen," kata Budi di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa, 14 Februari.

Budi memotret alasan masifnya warga pendatang baru yang masuk Jakarta setiap tahunnya. Menurut dia, hal itu terjadi karena Jakarta merupakan kota yang memberi daya tarik bagi peningkatan kesejahteraan seseorang.

"Ada sedikit kenaikan dari 2021 ke 2022 karena memang Jakarta ini punya daya tarik tersendiri. Jadi, banyak penduduk yang ingin mengadu nasibnya ke Jakarta," ungkap Budi.

Berdasarkan latar belakang pendidikan, lanjut Budi, 75 persen pendatang baru yang masuk Jakarta memiliki pendidikan terakhir setingkat SMA dan sederajat. Lalu, hampir 50 persen dari pendatang baru tidak memiliki penghasilan.

"Ini yang perlu kita cermati dan sikapi dengan baik terkait tren pendatang dalam beberapa tahun di Jakarta. Sehingga, kita lihat mereka yang datang ke Jakarta adalah mereka yang pendidikannya SMA ke bawah dan setengahnya enggak punya keterampilan," tutur dia.

Pada Minggu, 5 Februari lalu, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta meminta jajaran RW, lurah, camat, hingga wali kota memperhatikan kedatangan warga pendatang. Ia berujar, masuknya warga pendatang ke Jakarta ternyata membebani APBD DKI.

"Hari ini saya minta Pak Wali Kota, Pak RW tetap perhatikan perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain. Kami Pemda DKI tidak bisa melarang. Tapi, ke depan APBD DKI akan terbebani," ungkap Heru.

Heru mencontohkan salah satu kondisi yang ditimbulkan akibat banyaknya warga pendatang ke Ibu Kota. Pada fasilitas perawatan kesehatan di RSUD Jakarta, pemerintah tak bisa melarang warga luar Jakarta untuk menjalani pengobatan.

Akhirnya, mau tak mau Pemprov DKI harus meningkatkan kapasitas perawatan agar warga Jakarta juga bisa tertampung dan dirawat di rumah sakit milik daerah tersebut.

"Sebagai contoh saja, di Jaksel, salah satunya memiliki RS Pasar Minggu. Dari 14 pasien dalam satu kamar, 9 pasien adalah warga luar DKI. Sisanya adalah warga DKI. Artinya apa? Pemda DKI akan menjadi beban. RS Pasar Minggu harus dibesarkan, Pemda DKI berkewajiban menambah tempat tidur," urainya.