Komisi Yudisial Tanggapi Kritik Seleksi dan Calon Hakim Adhoc HAM di MA
Juru Bicara Komisi Yudisial RI, Miko Ginting (KY)

Bagikan:

JAKARTA -  Komisi Yudisial (KY) mengakui adanya keterbatasan kompetensi dan integritas pada diri calon hakim ad hoc Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Mahkamah Agung. KY menegaskan hal itu agar publik mendudukkan perkara ini secara berimbang.

Juru Bicara Komisi Yudisial Miko Ginting menuturkan, KY menerima masukan dari organisasi masyarakat sipil terkait dengan seleksi dan calon hakim adhoc HAM di MA yang telah diajukan ke DPR.

"Pada prinsipnya, teman-teman organisasi masyarakat sipil mengkritik soal pemahaman dan kompetensi calo," kata Miko dalam keterangannya, Senin 6 Februari.

Kata dia, KY berpandangan yang sama bahwa seleksi terhadap calon hakim adhoc HAM di MA tidak berada dalam kondisi ideal. Terutama disebabkan pendaftar yang terbatas sekalipun penjaringan sudah dilakukan semaksimal mungkin.

Bila merunut ke belakang, lanjut Miko, pada awalnya hanya 4 calon yang mendaftar, lalu KY membuka perpanjangan dan mendapat 15 pendaftar. Setelah seleksi administrasi, hanya 13 pendaftar yang lulus dan dari 13 pendaftar tersebut ada 3 calon yang mengundurkan diri. Dari 10 calon, pada tahap seleksi kualitas hanya 6 calon yang dinyatakan lulus ke tahap berikutnya, yaitu seleksi kesehatan, kepribadian, dan penelusuran rekam jejak.

"Selanjutnya, hanya 5 calon yang dinyatakan lolos untuk mengikuti tahap wawancara," terangnya.

Sementara di sisi lain, KY dibatasi oleh jangka waktu pelaksanaan seleksi menurut undang-undang, yaitu maksimal 6 bulan. Terlebih pengajuan Kasasi sudah dilakukan oleh Kejaksaan terhadap putusan tingkat pertama perkara Paniai di mana Terdakwa diputus bebas dari tuntutan.

"Oleh karena itu, guna menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi korban, tidak ada pilihan selain menyediakan hakim pada tingkat Kasasi melalui seleksi oleh KY," sebut Miko.

KY dalam seleksi ini tetap menerapkan mekanisme dan standard seleksi sebagaimana layaknya seleksi calon hakim agung, terutama pada aspek integritas.

Untuk itu, kritik terhadap calon ini mesti dikerangkakan dalam kerangka persoalan yang lebih besar, yaitu minimnya ketersediaan calon, terutama calon yang kompeten dan berintegritas. Salah satu yang ditengarai menjadi penyebab adalah syarat dalam undang-undang terkait usia minimal calon, yaitu 50 tahun.

"Batas usia ini menyebabkan calon-calon potensial tetapi belum sampai batas usia tersebut tidak bisa mendaftar," katanya.

Persoalan lain yang lebih struktural adalah ketidakpastian perkara yang akan ditangani. Hingga saat ini hanya satu perkara, yaitu perkara Paniai, yang diperiksa oleh pengadilan. Itupun hanya dengan satu terdakwa yang akhirnya diputus bebas pada pengadilan tingkat pertama.

Padahal, lanjutnya, selama menjabat sebagai hakim adhoc HAM di MA, calon yang bersangkutan tidak bisa atau sangat terbatas untuk menjalankan profesi lain.

Selanjutnya, persoalan lain yang kerap muncul dari para calon adalah soal insentif. Hingga saat ini, KY belum mendapatkan informasi terkait peraturan presiden tentang insentif dan fasilitas bagi hakim adhoc HAM di MA.

"Tiga persoalan pokok di atas adalah persoalan struktural yang terdapat dalam regulasi dan proses penegakan hukum secara faktual," jelas Miko.

KY berpandangan jikapun seleksi diulang kembali, yang dengan demikian KY juga melanggar undang-undang karena batas waktu seleksi maksimal 6 bulan, apakah ada jaminan calon yang potensial sesuai harapan organisasi masyarakat sipil akan didapatkan?

"Dengan berbagai persoalan yang menyebabkan minimnya calon untuk mendaftar sementara perkara sudah diajukan ke tingkat Kasasi, maka KY mesti memutuskan untuk memilih calon yang terbaik dari yang ada. Jika tidak demikian, maka kepastian dan keadilan bagi korban akan tertunda," tutup Miko.