JAKARTA - Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menyampaikan berdasarkan pengalaman pemilu sebelumnya metode kotak suara keliling dan metode pos paling dinilai rawan untuk pemungutan suara bagi WNI di luar negeri.
"Yang paling banyak masalah metode kotak suara keliling dan metode pos. Perlu diketahui kotak suara keliling ini terobosan untuk memfasilitasi pemilih pada negara yang mempunyai banyak pekerja migran Indonesia,” kata Rahmat Bagja dilansir ANTARA, Sabtu, 21 Januari.
Bagja mengatakan pemilu di luar negeri menggunakan tiga metode pemungutan suara, yakni metode tempat pemungutan suara (TPS), kotak suara keliling, dan metode pos. Kotak suara keliling menurut dia rentan atas dokumen ganda seperti penggunaan paspor dan kartu pekerja.
"Menurut saya, kotak suara keliling ini masih relevan sampai sekarang dengan perlunya penguatan pengawasan," ucap dia.
BACA JUGA:
Berikutnya, dia mengatakan potensi masalah menggunakan metode pos paling banyak akibat pemilih yang mengambil dua metode sekaligus, yakni mencoblos di TPS yang biasanya ada di kedutaan besar sekaligus juga memilih menggunakan metode pos.
"Sehingga memilih dua kali di TPS dan metode pos karena metode pos dikirim dua minggu sebelum hari pemungutan suara," ujar Bagja.
Selain itu, permasalahan lain menurut dia biasanya berasal dari daftar pemilih tetap (DPT), termasuk persoalan pakai paspor atau tidak. Bagja mengatakan pengalaman pemilu sebelumnya, di Malaysia paspor ditahan oleh pengusaha sehingga pekerja migran hanya mempunyai kartu pekerja.
Kemudian, alamat domisili juga sering pula menjadi masalah di negara yang banyak pekerja migran.
"Dulu, ada kasus di Kuala Lumpur, satu alamat untuk sekitar 500 pemilih untuk satu tempat alamat, sehingga kesulitan dalam mengirimkan formulir undangan (C-6)," ujarnya.
Meski begitu, Bagja meyakinkan kalau negara melalui upaya pemerintah dan penyelenggara pemilu sangat kuat untuk menjamin hak pilih.