JAKARTA - Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama (Kemenag) Hilman Latief paham usulan kenaikan biaya haji menjadi Rp69 juta bukan kebijakan populer. Namun, demi keberlanjutan dan melindungi hak nilai manfaat jemaah haji hal ini diklaim harus dilakukan.
"Mungkin usulan ini tidak populer tapi Gus Men (Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas) lakukan demi melindungi hak nilai manfaat seluruh jemaah haji sekaligus menjaga keberlanjutannya," kata Hilman dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 21 Januari.
Hilman mengatakan nilai manfaat yang bersumber dari hasil pengelolaan dana haji oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) adalah hak semua jemaah haji dari Tanah Air.
"Termasuk lebih dari 5 juta yang masih menunggu antrian berangkat," tegasnya.
Karenanya, untuk mencegah dana haji habis, pemerintah berupaya mengubah skema pembiayaan dengan membebankan 70 persen pada jemaah haji. Sementara sisanya, diambil dari nilai manfaat sebesar 30 persen.
Apalagi, sejak 2010 hingga 2022 penggunaan dana nilai manfaat terus meningkat. Dari yang tadinya hanya 19 persen menjadi 59 persen pada 2022 karena pemerintah Arab Saudi menaikkan layanan biaya haji.
"Kondisi ini sudah tidak normal dan harus disikapi," tegasnya.
Selain itu, Hilman juga menyebut dana nilai manfaat bisa tergerus dan habis pada 2027 jika tak dipergunakan dengan proporsional.
"Sehingga jemaah 2028 harus bayar full 100 persen," ujarnya.
"Padahal mereka juga berhak atas nilai manfaat simpanan setoran awal yang sudah lebih dari 10 tahun," sambung Hilman.
Kemenag berharap polemik biaya haji ini tak lantas berkepanjangan. Apalagi, usulan ini disampaikan ke DPR untuk dibahas bersama sehingga publik baiknya menunggu kesepakatan perhitungan yang tepat.
"Ini usulan pemerintah untuk dibahas bersama Komisi VIII DPR. Kita tunggu kesepakatannya, semoga menghasilkan komposisi yang paling ideal," pungkasnya.