Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan, pihaknya berhasil menyelamatkan negara dari kerugian sebesar Rp592 triliun melalui pencegahan yang dilakukan selama setahun ini. 

Dirinya bahkan menyebut, berhasil menyelamatkan keuangan negara lebih besar daripada pimpinan KPK di periode sebelumnya.

"Hasil pencegahan yang dilakukan KPK telah menyelamatkan potensi kerugian negara selama setahun kami bekerja mencapai Rp592 triliun. Jauh melebihi lima tahun kinerja periode sebelumnya yg mencapai Rp63,4 triliun," kata Ghufron dalam keterangan tertulisnya yang diterima VOI, Selasa, 29 Desember.

Hal ini disampaikan untuk menanggapi kritik yang dilemparkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut penindakan di era Firli Bahuri cs melemah dibandingkan Agus Rahardjo yang menjabat di periode 2016-2019.

Dia menilai, ICW harusnya bisa melihat berbagai aspek yang telah dilakukan oleh KPK saat ini. Menurut dia, meski saat ini pandemi COVID-19 terjadi namun komisi antirasuah itu tetap bisa bergerak dan meraih hasil yang optimal utamanya dalam mengawasi dana yang dikeluarkan pemerintah untuk menangani masalah kesehatan ini.

Meski pihaknya mengapresiasi kritik dari ICW, Ghufron meminta mereka tak hanya memandang KPK sebagai komisi penangkap koruptor saja. Penilaian, kata dia, harus dilakukan secara komperhensif termasuk memperhatikan kinerja pencegahan yang saat ini sedang dilakukan.

"KPK mengapresiasi dan berterima kasih atas penilaian ICW yang selalu memperhatikan KPK. Namun sayangnya, ICW ini seperti orang yang mengidap diabetes sehingga seleranya tidak bisa komperhensif," tegasnya.

"Dalam pandangan ICW, KPK adalah komisi penangkap koruptor sehingga hanya ketika KPK menangkap koruptor baru dianggap bekerja. ICW tidak melihat secara komperhensif semua lini, ICW mengabaikan kinerja pencegahan sehingga tugas dan fungsi mengedukasi masyarakat untuk sadar dan tidak berperilaku dianggap bukan KPK," imbuhnya.

Lebih lanjut, dia juga meyakini masyarakat Indonesia tentunya akan lebih paham daripada ICW. "Sehingga, apa yang disampaikan ICW akan bertentangan dengan kesadaran antikorupsi masyarakat," ungkapnya.

Diberitakan sebelumnya, peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyinggung perihal kemunduran penindakan di era kepemimpinan Firli Bahuri. Apalagi berdasarkan catatan evaluasi setahun terakhir KPK yang dibuat oleh ICW dan Transparency Internasional (TII), terlihat ada kemuduran drastis dari kinerja komisi antirasuah saat ini utamanya di bidang penindakan. 

Menurut Kurnia, berdasarkan data yang ada dari catatan evaluasi tahunan tersebut, pada 2019 lalu, jumlah penyidikan mencapai 145 kasus tapi saat ini -pada periode Firli Bahuri- hanya sebanyak 91 kasus. Penurunan juga terjadi pada penuntutan kasus. Jika pada 2019 ada 153 kasus yang masuk ke penuntutan, tahun ini hanya mencapai 75 kasus.

"Kemudian dalam konteks jumlah tangkap tangan, tahun 2020 KPK hanya melakukan tujuh tangkap tangan. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, 2019 21 kali, 2018 30 kali, 2017 19 kali, dan 2016 17 kali," ungkapnya dalam keterangan tertulisnya.

Bukan hanya itu saja, KPK juga kini mengalami penurunan tingkat kepercayaan publik dan hal ini didasari hasil surveri yang dikeluarkan oleh Alvara Research Center, Indo Barometer, Charta Politica, LSI, dan Litbang Kompas. Hasil ini penurunan tingkat kepercayaan karena peran pemerintah saat mengundangkan UU KPK baru dan memilih sebagian besar pimpinan bermasalah. 

Belum lagi, KPK juga dianggap gagal meringkus buronan mereka seperti mantan calon legislatif (caleg) PDIP Harun Masiku yang jadi penyuap eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Selain itu, Kurnia juga menyinggung beberapa hal yang dianggap sebagai kemunduran seperti sikap Ketua KPK Firli Bahuri yang melanggar kode etik karena menggunakan helikopter untuk kepentingan pribadinya.