Bagikan:

JAKARTA - Kerusuhan yang terjadi di lingkungan PT. GNI, Morowali Utara (Morut) Sulawesi Tengara (Sulteng) tersebut dilaporkan menimbulkan dua orang korban jiwa (meninggal dunia), seorang TKI dan seorang TKA serta kerugian material yang cukup besar. Dilaporkan pula terjadi penjarahan di asrama putri TKI serta pembakaran asset perusahaan. Sekitar 70 orang telah ditahan kepolisian untuk diusut tuntas aksi anarkis tersebut.

Isu berhembus penyulut kericuhan lantaran penganiayaan pekerja warga negara asing terhadap pekerja warga negara (WNI) dan kekerasan terhadap pekerja perempuan.

Ketua Konsorsium Penegakan Hukum Indonesia (KOPHI) Rudy Marjono menilai, insiden berdarah di PT. GNI Morowali Utara bisa jadi berawal dari masalah ketenagakerjaan yang tidak sehat dan cenderung tidak terkapitalisasi dengan baik.

“Ya.. mungkin selama ini tidak terakomodir dan diantisipasi dengan perhatian yang sungguh-sungguh oleh pemerintah. Sehingga menimbulkan ledakan emosional di kalangan pekerja melawan perusahaan.” kata Rudy Marjono saat berbincang kepada wartawan, Rabu pagi, 18 Januari.

Rudy berpandangan, permasalahan tenaga kerja yang kerap kali terjadi di perusahaan asing, salah satunya adalah kurang adanya kesetaraan perlakuan yang berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial.

Dengan demikian, lanjut Rudy, bisa terjadi gesekan kepentingan diantara pekerja lokal dengan pekerja asing yang hampir tidak kalah besar jumlahnya di level pekerjaan yang tidak punya keahlian khusus (unskill labours).

“Sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, yang mana pada saat perekrutan tenaga asing seharusnya ada pembatasan pada level tenaga ahli dan berkeahlian khusus saja. Untuk tenaga kerja yang tidak berkeahlian cukup tenaga kerja local, agar tercipta lapangan kerja baru. Diharapkan nantinya bisa bertransformasi alih tekhnologi dan pemberdayaan SDM (sumber daya manusia) dalam menjalankan proses produksi perusahaan yang berkelanjutan dengan pekerja lokal.” Papar Rudy.

Rudy berkeyakinan, masalah yang tidak pernah terpecahkan, tidak ada solusinya, atau mungkin tidak pernah mendapat perhatian, seperti api dalam sekam yang suatu saat bisa membesar.

“Permasalahan yang dipicu awalnya bisa jadi terhadap hal yang dianggap sepele. Padahal itu justru berpotensi meledak jika dibiarkan begitu saja tanpa diberikan solusi penyelesaiannya. Benar tidaknya apakah tidak dipenuhinya hak-hak pekerja oleh perusahaan, semisal tidak adanya APD terhadap pekerjaan tertentu, sehingga menimbulkan kekawatiran pekerja atas keselamatan jiwanya. Atau peraturan yang membatasi pekerja dalam hal beribadah (misalkan) dan pelayanan kesehatan serta perbedaan perlakuan lainnya. Atau adanya perlakuan yang dirasa tidak fair yang dialami para pekerja lokal dengan pekerja asing.

Rudy mengapresiasi pemerintah yang sudah mengambil sikap dengan melakukan tindakan investigasi dan evaluasi. Walau demikian, lanjut Rudy, pemerintah harus fair dan transparan, dalam melakukan investigasi. Sehingga tidak terulang lagi baik di perusahaan yang bersangkutan maupun perusahaan asing lainnya.

“Pemerintah harus berani tegas kepada perusahaan asing yang melanggar ketentuan peraturan ketenagakerjaan dengan sanksi yang tidak abal-abal. Sehingga hal tersebut sebagai contoh bagi investor perusahaan asing lainnya jika mau menjalankan usahanya di negeri ini. Jangan sampai kehadiran investor perusahaan asing yang terlalu "dimanjakan" dan terkesan over proteksi. Sehingga mengikis kepekaan pemerintah terhadap permasalahan ketenagakerjaan yang seharusnya lebih diutamakan.” harapnya.

Rudy kembali menegaskan, bila regulasi iklim investasi yang berjalan beriringan dengan masalah ketenagakerjaan tidak diantisipasi dengan kebijakan yang tepat oleh pemerintah, dan adanya kecenderungan membela kepentingan investor, kurang peka terhadap hak-hak yang seharusnya diberikan kepada pekerja, hal itu seperti tidak memadamkan api dalam sekam, yang suatu saat akan kembali menyala.

Diberitakan sebelumnya, Head of Human Resources and General Affairs PT GNI Muknis Basri Assegaf membantah isu yang beredar tersebut. Dia bilang, penyerangan terhadap karyawan terjadi saat jam operasional pabrik berlangsung sehingga aktivitas terhenti dan menimbulkan kerusakan parah.

Dia menuturkan, penjarahan terjadi terhadap 100 mess karyawan WNI, dan WNA. Serta sekitar enam alat berat dan kendaraan operasional milik perusahaan terbakar.

"Mereka juga menyerang TKA agar berhenti bekerja. Dan setelah muncul kericuhan, mereka kemudian membakar dan menjarah mess perempuan tenaga kerja lokal, hingga menjarah mess TNI kemudian membakarnya," ungkap Muknis dalam keterangan resmi, Senin 16 Januari, disitat Antara.