JAKARTA - Bursa saham China harus menerima kenyataan pahit. Setelah libur imlek sejak 23 Januari lalu, pada perdagangan hari ini indikator utama bursa China yakni Shanghai Stock Exchange Composite Index jatuh 7,72 persen menjadi 2.746,61.
Indeks Komponen Shenzhen yang melacak saham-saham di bursa kedua China ditutup anjlok 8,45 persen menjadi 9.779,67 poin. Jumlah saham turun melebihi yang naik, sebanyak 1.438 saham terhadap 53 saham di bursa Shanghai dan 2.086 saham terhadap 99 saham di bursa Shenzhen.
People's Bank of China (PBOC) sebelumnya berupaya menenangkan pasar dengan memberikan suntikan likuiditas ke pasar uang. PBOC juga memotong suku bunga pinjaman sebesar 10 basis poin dan membatasi beberapa penjualan oleh broker.
Namun, tampaknya kekhawatiran mengenai bertambahnya jumlah korban akibat wabah virus corona lebih kuat mempengaruhi pasar. Banyak saham langsung turun mencapai batas penurunan harian yang diperbolehkan bursa.
Di sisi lain skala wabah tetap sulit diprediksi, dan ada keraguan hal itu akan berdampak besar pada China yang adalah kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, setidaknya dalam jangka pendek.
"Pandemi atau wabah ini bukanlah sesuatu yang hanya akan berdampak pada pasar untuk beberapa hari saja. Hal itu akan berlangsung lebih lama," kata Sun Jianbo, presiden China Vision Capital di Beijing, dikutip dari Yahoo Finance, Senin 3 Februari.
Efek virus corona terasa di seluruh bursa di China. Harga bijih besi berjangka China yang jadi patokan menurun hingga batas hariannya 8 persen, sedangkan harga minyak mentah dan minyak sawit ikut tenggelam.
Imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun yang paling aktif diperdagangkan di China turun terbesar sejak 2014.