JAKARTA - Presiden Joko Widodo resmi melantik Tri Risma Harini, menjadi Menteri Sosial. Pengangkatan Risma memiliki problematika tersendiri. Sebab, di waktu yang sama, ia diketahui masih menjabat sebagai Wali Kota Surabaya. Sehingga, praktik rangkap jabatan kembali terlihat oleh publik.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak agar Tri Rismaharimi tidak merangkap jabatan sebagai Menteri Sosial dan Wali Kota Surabaya sekaligus. ICW meminta Risma meninggalkan salah satu jabatannya itu.
Peneliti ICW Wana Alamsyah mengatakan, rangkap jabatan Risma itu telah melanggar undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Menurut Alamsyah, pejabat publik semestinya memiliki kemampuan untuk memahami peraturan dan berorientasi pada kepentingan publik. Terlebih lagi jika pejabat itu sekelas presiden dan wali kota dengan prestasi yang disebut-sebut mentereng.
Alamsyah menuturkan, Pasal 76 huruf h UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah secara tegas memuat larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk melakukan rangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya.
Sementara, di UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara Pasal 23 huruf a mengatur bahwa menteri dilarang merangkap jabatan pejabat negara lainnya. Merujuk pada regulasi lain, yakni Pasal 122 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, menteri dan wali kota disebut sebagai pejabat negara.
BACA JUGA:
"Ini menunjukkan bahwa baik dalam kapasitasnya sebagai wali kota atau menteri, posisi Risma bertentangan dengan dua UU tersebut. Keputusan Presiden RI untuk membiarkan pejabat publik rangkap jabatan juga jelas bermasalah," katanya, dalam keterangan resmi, Kamis, 24 Desember.
Menurut Alamsyah, perintah undang-undang tidak bisa dikesampingkan oleh izin presiden, apalagi hanya sebatas izin secara lisan. Pengangkatan Risma sebagai menteri tanpa menanggalkan posisi wali kota bisa dinilai cacat hukum.
"Rangkap jabatan juga diakui oleh Risma telah mendapat izin Presiden. Lewat pengakuan Risma, kita bisa melihat inkompetensi dan tidak berpegangnya dua pejabat publik pada prinsip etika publik. Yang pertama adalah Risma sendiri, kedua adalah Presiden RI Joko Widodo," tuturnya.
Lebih lanjut, Alamsyah berujar, fenomena rangkap jabatan bukan hanya terjadi pada saat pemilihan menteri baru. Sebelumnya, Ombudsman telah menemukan praktik serupa di tubuh BUMN. Sayangnya, Presiden Joko Widodo tidak bergeming. Bahkan kondisi tersebut dinormalisasi oleh Presiden Joko Widodo.
Padahal, kata Alamsyah, menormalisasi praktik rangkap jabatan sama dengan menormalisasi sesuatu yang dapat berujung pada perilaku koruptif. Sebab, rangkap jabatan dapat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan saat merumuskan sebuah kebijakan.
"Izin yang diberikan oleh Presiden Jokowi kepada Risma untuk melakukan rangkap jabatan semakin menunjukkan praktik permisif terhadap praktik koruptif. Terlebih, keputusan tersebut melanggar UU, dan mengikis nilai etika publik yang hidup di tengah masyarakat," ucapnya.
Oleh karena itu ICW mendesak Risma untuk mundur dari salah satu jabatannya. Jika Risma tak segera mengundurkan diri, maka ia tidak layak menduduki posisi pejabat publik apapun. Perhatian publik juga perlu ditujukan pada Presiden RI yang memberi izin pada Risma untuk rangkap jabatan.
Diberitakan sebelumnya, Risma mengatakan, sementara ini dirinya merangkap jabatan sebagai Menteri Sosial dan Wali Kota Surabaya. Ia menyebut, Presiden Joko Widodo mengizinkannya untuk sementara pergi pulang ke Jakarta dan Surabaya.
"Mungkin karena saya masih merangkap wali kota untuk sementara waktu. Saya sudah izin Pak Presiden, 'Ndak apa-apa, Bu Risma pulang pergi'," kata Risma dalam pidatonya dalam serah terima jabatan Menteri Sosial di Gedung Kemensos secara virtual, Rabu, 23 Desember.
Kemendagri akan Berhentikan Risma dari Jabatan Wali Kota Surabaya
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan memberhentikan Tri Rismaharini sebagai wali kota Surabaya. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur memang belum menerima pengunduran diri Risma sebagai wali kota Surabaya, meski telah resmi menjabat sebagai menteri sosial (Mensos).
"Kami dapat informasi dari Kemendagri lewat BKD Surabaya, jadi yang dipakai adalah Pasal 78 UU 23 tahun 2014 sama Pasal 88 UU 23 tahun 2014. Jadi bukan mengundurkan diri, tapi diberhentikan oleh Mendagri," kata Kepala Biro Administasi Pemeritahan dan Otonomi Daerah Jatim, Jempin Marbun, dikonfirmasi Rabu, 23 Desember
Jempin menjelaskan, Risma bisa menempuh dua cara untuk menanggalkan jabatannya sebagai wali kota Surabaya. Bisa mundur atau bisa juga diberhentikan Mendagri karena mendapat tugas baru dari Presiden.
"Dalam UU 23 tahun 2014 kepala daerah dapat diberhentikan karena meninggal, mengundurkan diri, ketiga karena diberhentikan. Nah diberhentikan ini ada karena diberikan tugas oleh presiden. Nah ini memang cocok juga dasar hukumnya," ujar Jempin.
Jempin menyatakan, pihaknya masih menunggu SK pemberhentian Risma dari Mendagri. SK pemberhentian terssbut yang akan menjadi dasar hukum bagi Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa untuk mengeluarkan surat tugas kepada Plt.
Jabatan Plt Wali Kota Surabaya, kata dia, nantinya secara otomatis dijabat Whisnu Sakti Buana, yang merupakan wakil Wali Kota Surabaya saat ini.