Bagikan:

JAKARTA - Lebih dari 20 universitas terkemuka di Inggris telah berjanji untuk menawarkan kursus gratis bagi perempuan Afghanistan, selama Taliban melarang perempuan mengakses universitas di negara itu.

Taliban yang berkuasa di Afghanistan mengumumkan bulan lalu, perempuan tidak lagi dapat belajar di universitas dan lembaga pendidikan tinggi. Institusi diminta untuk menerapkan larangan tersebut sesegera mungkin.

Sekarang, sejumlah universitas Inggris telah bekerja sama melalui FutureLearn untuk menawarkan akses gratis ke platform pembelajaran digital kepada para wanita di Afghanistan.

Anak perempuan dan perempuan dengan akses internet, akan dapat mempelajari lebih dari 1.200 kursus dari institusi terkemuka tanpa biaya sendiri.

FutureLearn, yang didirikan oleh Universitas Terbuka pada tahun 2012, memberikan kursus atas nama sekitar seperempat dari 200 universitas terbaik dunia.

Dua puluh enam dari 30 universitas terbaik di Inggris merupakan mitra FutureLearn, termasuk 21 dari 24 institusi Russell Group.

Jo Johnson, ketua FutureLearn, mengatakan langkah tersebut akan memberikan "garis hidup" bagi mereka yang ingin belajar.

"Untuk anak perempuan dan perempuan yang bisa mengakses internet dan punya waktu, ini bisa menjadi penyelamat," katanya, melansir The National News 3 Januari.

"Meskipun ini tentu saja bukan obat mujarab – konektivitas yang buruk, kemiskinan dan kendala bahasa berarti banyak perempuan mungkin tidak dapat mengakses materi – namun hal ini dapat memainkan peran yang berharga dalam memungkinkan perempuan di Afghanistan, untuk menegaskan hak asasi mereka yang tidak dapat dicabut atas pendidikan," tandasnya.

Sementara itu, Lord Mark Malloch-Brown, presiden Open Society Foundation, menyambut inisiatif untuk memberikan akses pendidikan gratis kepada perempuan.

"Taliban mengira dunia telah melupakan mereka," tukasnya.

"Langkah terpuji dari FutureLearn untuk membuka platformnya bagi perempuan yang haknya diingkari di bawah rezim ini, akan memainkan peran yang berguna dalam menjaga agar pendidikan tetap terjangkau oleh mereka yang memiliki koneksi internet."

"Ini adalah tanda yang disambut baik bahwa komitmen kami untuk memperjuangkan hak asasi manusia bagi semua warga Afghanistan tetap kuat," sebutnya.

Langkah untuk melarang perempuan dari pendidikan tinggi adalah salah satu langkah terbaru Taliban, untuk meningkatkan pembatasan hak-hak perempuan sejak pengambilalihan mereka atas Afghanistan pada 2021.

Ini telah memicu kecaman internasional, serta protes di negara itu.

UEA dan Arab Saudi telah memimpin seruan agar keputusan itu dibatalkan. Sementara Menteri Luar Negeri dari Australia, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Norwegia, Spanyol, Swiss, Inggris, AS dan Perwakilan Tinggi UE juga mengecam keras langkah tersebut.

"Afghanistan yang stabil, layak secara ekonomi dan damai hanya dapat dicapai dan berkelanjutan jika semua warga Afghanistan, termasuk perempuan dan anak perempuan, dapat berpartisipasi penuh, setara dan bermakna dalam berkontribusi pada masa depan dan pembangunan negara," kata mereka dalam pernyataan bersama.

Terpisah, ada kekhawatiran bahwa hingga 35 dari 140 universitas swasta di Afghanistan akan ditutup sebagai akibat dari langkah tersebut – yang akan memengaruhi hingga 70.000 mahasiswi.

Salah satu Menteri Pendidikan Tinggi Taliban, Nida Mohammad Nadim, membela larangan tersebut, dengan mengatakan larangan itu perlu untuk mencegah pencampuran gender di universitas. Dia juga mengklaim beberapa mata pelajaran melanggar nilai-nilai Islam dan Afghanistan.