Bagikan:

JAKARTA - Pembunuhan brutal yang dilakukan oleh oknum anggota kepolisian di Tarlac, Filipina tertangkap kamera pada Minggu 20 Desember. Korbannya seorang ibu dan anak. Mereka didor dari jarak dekat. Pembunuhan tersebut menambah daftar tabir hitam penyalahgunaan wewenang kepolisian di bawah pemerintahan Presiden Filipina Rodrigo Duterte. 

Melansir The Washington Post, Rabu 23 Desember, petugas polisi yang berpakaian preman terindentifikasi bernama Jonel Nuezca. Insiden itu berlangsung kilat. Setelah terlibat adu mulut, Nuezca tampak terpantik emosinya lalu memuntahkan peluru yang ada di dalam pistolnya ke mereka.

Dalam video yang terekam oleh seorang saksi terlihat, Nuezca menembakkan timah panas dua kali ke Sonya Gregorio dan anaknya Frank Gregorio. Rekaman itu lantas viral, dan mendorong penyelidikan lebih lanjut.

Menurut pemberitaan media lokal Filipina, sebelum terjadi penembakan, mulanya Nuezca hendak menangkap Frank Gregorio, yang telah memainkan petasan yang terbuat dari bambu atau kaleng untuk merayakan tahun baru. Namun ibunya memeluk Frank agar Nuezca tak menangkapnya.

Putri Nuezca yang masih di bawah umur juga turut hadir di insiden tersebut. Ia bahkan turut melabrak Sonya untuk melepaskan putranya seraya berteriak: "Ayahku adalah seorang polisi!"

Namun Sonya menyahut bahwa dirinya tak memedulikan celotehan anak Nuezca. Saat itulah Nuezca menimpali Sonya dengan kata-kata kotor "Apakah kamu ingin aku menghabisimu sekarang?" ujarnya sambil menghabisi nyawa ibu dan anak tersebut.

Alyssa Calosing, yang merekam kejadian tersebut, mengatakan bahwa saksi lain melihat Nuezca memukul Frank Gregorio sebelumnya. Orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut menangis dan memintanya untuk berhenti. Setelah menembak keduanya, Nuezca membawa putrinya dan pergi seperti itu bukan apa-apa. 

Menambah tabir hitam

Insiden itu turut menambah daftar panjang tabir hitam penyalahgunaan wewenang oknum polisi. Publik bereaksi keras atas ribuan kasus serupa yang terjadi sebelumnya, sejak Rodrigo Duterte terpilih menjadi Presiden Filipina pada 2016. Di bawah perang narkoba ala Duterte, hampir 6.000 orang tewas dalam operasi polisi pada akhir September.

Pengawas hak asasi manusia memperkirakan kematian akibat kasus serupa bisa mencapai 30.000 orang, termasuk orang yang dibunuh oleh seseorang bertopeng. Human Rights Watch mengatakan kematian akibat perang narkoba melonjak lebih dari 50 persen dari April hingga Juli selama kuncitara nasional untuk menangani pandemi COVID-19.

Kepala polisi di Tarlac, Noriel Ramboao, mengatakan bahwa Nuezca mengakui telah membunuh ibu dan putra tersebut. Dia mengatakan bahwa ketika dia melihat pertengkaran antara putrinya dan wanita tua itu, pandangannya menjadi gelap dan tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Nuezca sebelumnya menghadapi dua dakwaan pembunuhan yang dibatalkan dengan alasan kurangnya bukti.

Kasus serupa juga terjadi pada April lalu. Saat itu kasus pembunuhan yang dilakukan oknum polisi terhadap mantan tentara Winston Ragos juga sempat viral. Ragos, yang kemudian diketahui menderita stres pascatrauma, ditembak mati setelah berdebat dengan polisi karena diduga melanggar larangan karantina. Investigasi kemudian menemukan bahwa polisi membunuh Ragos dan menyembunyikan bukti yang memberatkannya.