Bansos COVID-19 Dikorupsi Juliari, Faisal Basri: Saya Bilang Tunai Saja Enggak Percaya Sih
Ekonom senior Indef, Faisal Basri. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Korupsi dana bantuan sosial (Bansos) COVID-19 yang dilakukan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara mendapat sorotan dari ekonom senior Faisal Basri. Ia mengatakan, sejak awal dirinya tak setuju bantuan sosial berupa barang.

Menurut Faisal, bantuan sosial idealnya dalam bentuk tunai. Alasannya, bukan hanya rawan terjadi korupsi, namun juga karena kebutuhan masing-masing masyarakat berbeda.

Misalnya kebutuhan masyarakat yang memiliki riwayat penyakit diabetes dengan yang memiliki anak bayi akan berbeda. Mereka yang diabetes tidak boleh makan nasi banyak. Sedangkan, yang punya bayi cenderung akan membeli vitamin atau susu.

"Kalau saya sih sejak dulu mengatakan bantuan sosial ini tunai saja. Jadi bulat didapat oleh rakyat. Seindah-indahnya bantuan sosial adalah tunai," tuturnya, dalam diskusi virtual, Selasa, 22 Desember.

Selain itu, kata Faisal, anggaran bantuan sosial akan banyak terpangkas untuk birokrasi. Mulai dari pengadaan biaya transportasi hingga goodie bag atau tas bantuan sosial.

"Kalau tidak tunai, 20 sampai 25 persen hak rakyat akan hilang. Karena apa? Ada biaya pengadaan biaya transportasi, biaya packaging itu yang goodie bag dan segala macam. Sudahlah, rakyat dikasih penuh saja," jelasnya.

Faisal mengatakan, dirinya setuju jika bantuan sosial yang diberikan pemerintah berupa beras tanpa makanan pendamping. Hal ini menurutnya, dapat membantu Bulog untuk mengatur stok beras yang tersedia.

"Kecuali beras saya setuju. Karena stok Bulog terus berputar. Jadi ini akan memperlancar manajemen Bulog. Tapi untuk yang lain janganlah," tuturnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, proyek bansos mendapat sorotan setelah Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) menetapkan Mensos Juliari Peter Batubara dan empat tersangka lainnya sebagai penerima dan pemberi suap terkait program bantuan sosial penanganan COVID-19.

Keempat tersangka lainnya dalam kasus ini adalah, pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial (Kemensos) Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono, serta Ardian I M dan Harry Sidabukke selaku pihak swasta.

KPK menduga Juliari menerima jatah Rp10 ribu dari setiap paket sembako senilai Rp300 ribu per paket. Total setidaknya KPK menduga Juliari Batubara sudah menerima Rp8,2 miliar dan Rp8,8 miliar.

Selaku penerima, Juliari, Adi dan Matheus dijerat Pasal Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara itu, selaku pemberi, Ardian dan Harry disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.