BPOM Pertanyakan Legalitas Tim Pencari Fakta BPKN Terkait Ginjal Akut
Kepala BPOM Penny K Lukito/ANTARA/Andi Firdaus)

Bagikan:

JAKARTA - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mempertanyakan legalitas tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari Tim Pencari Fakta Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI dalam upaya melakukan pemeriksaan kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) di Indonesia.

"Kami masih pertanyakan legalitas Tim Pencari Faktanya. Dalam tahapan pemeriksaan harus sama dengan pemeriksaan yang dilakukan institusi pemeriksa yang ada saat ini, ada tahapan yang berproses seperti yang dilakukan Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan Ombudsman," kata Kepala BPOM Penny K Lukito dilansir ANTARA, Senin, 26 Desember.

Tahapan yang dimaksud di antaranya tembusan dari hasil temuan kepada pihak yang diperiksa, respons dari pihak yang diperiksa, hingga menyodorkan kesimpulan dari hasil pemeriksaan yang menjadi solusi atas permasalahan yang terjadi untuk kepentingan publik.

"Kami juga tidak tahu yang dikaitkan temuan tersebut, karena tidak ada tembusan kepada BPOM," katanya.

Penny mengatakan proses pemeriksaan perlu mengedepankan standar operasional prosedur yang berlaku transparan agar berkeadilan dan tidak menyudutkan salah satu pihak.

BPOM telah mengupayakan pertemuan dengan Tim Pencari Fakta BPKN RI untuk menjelaskan secara detail kasus GGAPA yang terjadi di Indonesia berdasarkan pokok permasalahan yang teridentifikasi dari hasil penelusuran pihaknya.

Hingga saat ini, BPOM telah mengidentifikasi enam celah dalam sistem jaminan keamanan dan mutu obat dari hulu ke hilir dalam kasus GGAPA yang berkaitan dengan produk obat sirop, yakni pemasukan bahan pelarut obat sirop tidak melalui Surat Keterangan Impor (SKI) BPOM, namun melalui mekanisme non larangan terbatas dari otoritas terkait,

Tidak adanya ketentuan batas cemaran dalam produk jadi pada Farmakope Indonesia, sistem pelaporan MESO yang tidak digunakan oleh tenaga kesehatan, kondisi maturitas industri farmasi yang beragam, tidak adanya efek jera dari perkara hukum pada kasus kejahatan obat dan makanan, dan adanya penimbunan bahan baku obat dan perbedaan harga antara pelarut bersandar farmasi dengan standar industri.

"BPOM sudah melakukan tugas sesuai standar yang berlaku dan menyampaikan hasilnya secara transparan apa saja gap (jarak) yang ada dan berproses dalam perbaikan ke depan," katanya.

Sejak dibentuk pada 7 November 2022 oleh BPKN-RI, Tim Pencari Fakta menemukan delapan fakta terkait keracunan obat sirup di Indonesia yang memicu 324 korban, sebanyak 199 di antaranya dinyatakan meninggal.

Fakta yang dimaksud di antaranya, ketidakharmonisan komunikasi dan koordinasi antarinstansi di sektor Kesehatan dan kefarmasian dalam penanganan lonjakan kasus GGAPA, adanya kelalaian instansi atau otoritas sektor kefarmasian dalam pengawasan bahan baku obat dan peredaran produk jadi obat, ketidaktransparanan terkait penindakan oleh penegak hukum yang dilakukan kepada industri farmasi.

Tidak adanya protokol khusus penanganan krisis terkait persoalan darurat di sektor kesehatan seperti lonjakan kasus GGAPA, belum adanya kompensasi yang diberikan kepada keluarga korban GGAPA dari pihak pemerintah.

Lalu, belum adanya pemberian ganti rugi kepada korban GGAPA dari pihak industri farmasi, bahan kimia Etilon Glikol dan Dietilen Glikol merupakan bahan yang termasuk dalam kategori berbahaya bagi kesehatan dan memerlukan pengaturan khusus, serta belum dilibatkannya instansi atau otoritas lembaga perlindungan konsumen dalam permasalahan sektor kesehatan dan kefarmasian.

Dari temuan tersebut Tim Pencari Fakta merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo di antaranya, sebagai bentuk empati dan simpati kepada korban GGAPA, pemerintah dan industri farmasi dipandang perlu untuk memberikan santunan atau kompensasi serta ganti rugi kepada korban yang meninggal dunia, dirawat, maupun yang masih harus melakukan pengobatan rawat jalan.

Selain itu, pemerintah menugaskan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP-RI) untuk melakukan audit secara menyeluruh terkait pengawasan dan peredaran produk obat-obatan termasuk penggunaan bahan baku pada obat di sektor kefarmasian.

Pemerintah meminta Polri untuk menindak tegas para pihak yang bertanggung jawab serta melakukan pengembangan kasus secara terang benderang, serta diperlukan penguatan lembaga yang melindungi konsumen pada persoalan kesehatan yang menyangkut kepentingan dan keselamatan publik yang sangat luas untuk menjadi pemenuhan hak publik secara umum