Pengamat: Pemerintah Tak Gubris Saran untuk Tidak Datangkan Wisatawan China
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio menilai bahwa peraturan yang dibuat pemerintah terkait pengendalian penyebaran COVID-19 di Indonesia saling bertabrakan, bahkan tidak konsisten. Hal ini menggambarkan bahwa pemerintah tak serius menangani masalah.

Sejak awal, jauh sebelum kasus positif COVID-19 pertama ditemukan di Tanah Air, tepatnya pada bulan Februari, Agus mengaku menghubungi Dirjen Perhubungan udara dan juga Menteri Perhubungan untuk memberi saran agar pemerintah menutup sementara Bandara Sam Ratulangi, Ngurah Rai dan Cengkareng dari penerbangan charter maupun schedule dari dan ke China.

Namun sayang, saran tersebut tak disambut baik. Pemerintah memilih tetap membuka akses bagi wisatawan mancanegara dari China untuk masuk ke Indonesia. Padahal, saat itu COVID-19 telah menyebar di China.

"Jawabannya jangan, karena 40 persen turis kita datang dari China. Saya betul-betul kaget, tapi ya sudahlah saya kan bukan pengambil keputusan. Paling tidak sudah saya ingatkan," tuturnya, dalam diskusi virtual, Senin, 21 Desember.

Setelah ada penularan, kata Agus, barulah muncul berbagai peraturan-peraturan yang diterbitkan berkaitan dengan pengendalian pandemi COVID-19, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), peraturan bertransportasi dan lainnya. Namun, peraturan tersebut hasilnya malah bersifat ambigu.

Apalagi, dalam peraturan-peraturan yang diterbitkan Kementerian Perhubungan dan kementerian lainnya bertabrakan karena ada kata 'tetapi/kecuali' dalam peraturan itu. Hal ini memunculkan polemik yang berkepanjangan.

"Hal-hal semacam ini harusnya tidak terjadi. Tetapi saya selalu katakan semua peraturan itu harus sinkron, harus sesuai dengan aturan yang ada di UU Nomor 20 Tahun 2011. Karena kalau tidak ikut itu nanti salah lagi," jelasnya.

Kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan lainnya pada saat Lebaran, di mana pemerintah melarang masyarakat untuk mudik. Namun muncul surat edaran (SE) lain yang bertabrakan lagi, sehingga inkonsistensi dari peraturan perundang-undangan terjadi. Apalagi, SE tidak bisa dipakai sebagai kontrol dari pelaksanaan perundang-undangan. Karena sifatnya imbauan dan itu terbukti dilapangan tidak efektif.

"Ketika kita diimbau, orang Indonesia tidak bisa diimbau, harus diberi sanksi administrasi. Sementara peraturannya tidak ada kecuali di UU Nomor 6 Tahun 2018. Tetapi sanksi itu hanya boleh ada di UU dan di Perda," jelasnya.

Setelah kasus COVID-19 melonjak, pemerintah daerah baik Jawa Timur dan DKI Jakarta baru mengeluarkan peraturan daerah (Perda). Tentu saja, kata Agus, langkah ini sudah terlambat sangat panjang.

"Pada waktu Lebaran terjadi lonjakan sangat tinggi dan itu diulangi kembali pada saat lebaran November kalau saya tidak salah. Di kita perlu kita sadari bahwa grafik belum turun. DKI selalu paling tinggi karen sampelnya semakin banyak. Di tempat lain sampelnya tidak sampai 1 juta penduduk sesuai rekomendasi WHO," tuturnya.

Tak hanya peraturan yang inkonsisten, kata Agus, langkah tracing yang dilakukan pemerintah juga buruk, harusnya 1 orang positif yang di-tracing 30 orang. Namun tersebut tidak ada. Sehingga, kasus positif COVID-19 akan naik terus, dan tidak dapat dipastikan sampai kapan.

"Kita sudah berjalan, PSBB dilonggarkan, ada transisi, ada banyak sekali, tetapi tidak ada sanksi. Jadi kita dilepas sebetulnya, dari awal sudah imun sendiri saja," jelasnya.