Imbas Wajib Test PCR, Hotel di Bali Terancam Alami Kerugian Rp76 Miliar
Ilustrasi Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali ((Irfan Meidianto/Bali)

Bagikan:

JAKARTA - Kewajiban tes PCR dan tes Rapid antigen bagi wisatawan yang bakal berkunjung ke Bali sangat berdampak negatif bagi pelaku pariwisata. Akibatnya, banyak masyarakat memilih membatalkan rencana perjalanannya. Sehingga hotel-hotel di Bali berpotensi mengalami kerugian mencapai Rp76 miliar.

Pemerintah melalui Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan melakukan pengetatan aturan untuk bepergian selama pandemi COVID-19, khususnya terkait dengan protokol kesehatan.

Pengetatan tersebut merupakan bentuk antispasi pemerintah menghindari terjadinya kenaiakan kasus COVID-19 selama libur Natal dan Tahun Baru 2021. Mulai hari ini, pemerintah mewajibkan perjalanan darat ke Bali untuk melakukan rapid test antigen pada H-2 atau 2x24 jam sebelum keberangkatan.

Sementara, penumpang pesawat ke Bali wajib melakukan tes uji usap (swab) Polymerase Chain Reaction (PCR) pada H-2 sebelum keberangkatan.

Aturan ini juga disambut oleh Pemerintah Daerah Bali dengan Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 2021 tahun 2020 dari menjadi tanggal 19 Desember dari sebelumnya 18 Desember 2020. Pelampiran hasil tes PCR dilampirkan H-7 sebelum keberangkatan.

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan ada lebih dari 200 ribu orang datang ke Bali dalam waktu 10 hari. Sehingga langkah pengetatan mau tak mau harus dilakukan.

"Kemarin mau ke Bali itu udah lebih 200 ribu orang selama 10 hari. Sekarang kita ketatin sedikit. Karena kalau enggak nanti gimana. Bali naik lagi. Sekarang Bali itu relatif sangat baik," katanya, kepada wartawan, Jumat, 18 Desember.

Menurut Luhut, masyarakat masih abai soal pandemi COVID-19. Sehingga, untuk liburan tahun baru pemerintah harus mengambil langkah konkret untuk pencegahan. Hal ini juga berkaca dari libur panjang pada bulan Oktober lalu yang sempat membuat kasus aktif COVID-19 di Indonesia naik.

Apalagi, kata Luhut, pergerakan wisatawan dalam negeri hampir menyentuh angka 85 persen. "Kita kontrol semua sekarang, kita kurangi dulu supaya tidak terlalu cepat dulu nanti malah bahaya kan. Kalau itu dibuka nanti tidak disiplin pasti nanti naik lagi kasusnya jadi mesti dipahami sehingga," katanya.

Kerugian akibat Refund Tiket Capai Rp317 Miliar

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengungkapkan jumlah transaksi pengembalian (refund) tiket wisatawan yang hendak berkunjung ke Bali mencapai Rp317 miliar. Jumlah itu berasal dari 133 ribu tiket pesawat.

Sekretaris Jendral PHRI Maulana Yusran mengatakan, bisnis pariwisata adalah bisnis yang sangat membutuhkan pergerakan orang. Prosesnya bisa melalui digital, tetapi tetap harus ada pergerakan orang ke destinasi wisata.

Lebih lanjut, Yusran berujar, wisatawan umumnya akan melakukan rencana perjalanan dengan melakukan pemesanan tiket baik transportasi maupun hotel. Sehingga, perjalanannya terencana.

"Yang namanya liburan hampir tidak pernah orang mendadak beli tiket. Apalagi jika menggunakan transportasi udara. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mendadak, tentu berdampak. Potensi kerugian untuk hotel saja mencapai Rp76 miliar," tutur Yusran, kepada VOI, Jumat, 18 Desember.

Padahal, kata Yusran, okupansi hotel di Bali sudah mulai meningkat hingga 50 persen secara variatif. Libur Natal dan Tahun Baru 2021 adalah momen yang ditunggu pelaku usaha pariwisata, karena pada saat itu produktivitas sektor ini muncul.

"Momentumnya kalau kita bicara wisatawan domestik momennya cuma dua, satu lebaran, Natal dan Tahun Baru. Otomatis kondisi yang seharunya dia (pelaku usaha pariwisata) yang mendapatkan produktivitas jadi tidak dapat," ucapnya.

PHRI Sayangkan Perubahan Kebijakan dari Pemerintah

Selain berdampak pada pelaku usaha pariwisata, kebijakan itu juga berpengaruh pada perekonomian Bali. PHRI sangat mendukung upaya pemerintah memutus rantai penyebaran covid-19. Namun, Yusran menyayangkan, kebijakan pemerintah yang berubah menjelang libur Natal dan Tahun Baru tiba.

"Jangan diartikan kita tidak sepakat dalam situasi pandemi ini untuk mengurangi tersangkanya orang atau menghindari kerumunan. Bukan itu. Tapi yang kita masalahkan, kebijakan yang berubah last minute. Ini yang berbahaya. Akhirnya terjadi cancelation," ucapnya.

Yusran mengatakan, dampak dari pembatalan perjalanan wisatawa ini yang merasakan adalah pelaku usaha dan masyarakat. Khususnya pekerja di sektor pariwisata.

"Harusnya kebijakan itu bebannya ada di pemerintah. Kecuali kalau mereka mengeluarkan kebijakan untuk yang akan (pergi), tetapi yang sudah melakukan reservasi diberikan gratis PCR-nya itu beda. Kalau sekarang kan berbeda," tuturnya.

Kata Yusran, PCR test H-2 sebagai syarat untuk bepergian ke Bali sangat memberatkan wisatawan. Sebab, umumnya wisatawan telah merencanakan perjalanan dan anggaran sebelum memutuskan berlibur.

"Kebijaan yang dikeluakan pemerintah akan menambah biaya yang sudah direncanakan wisawatan. Masuk ke Bali harus menggunakan PCR H-2 itu service yang cepat, kalau yang regular mungkin masih dapat Rp800 ribu, tapi kalau yang cepat kan mahal," katanya.

Peningkatan Pembatalan Perjalanan

Andhini Puteri, Vice President Marketing Transport & Financial Services Traveloka menyebutkan pihaknya melihat adanya peningkatan terhadap pembatalan perjalanan dan permintaan refund untuk destinasi Bali. 

"Namun jumlahnya masih dapat ditangani dengan baik oleh tim Customer Care Traveloka," kata Andhini, Kamis, 17 Desember.

Sebagai salah satu pelaku di industri perjalanan dan pariwisata, Andhini mendukung sepenuhnya kebijakan menyertakan hasil tes negatif PCR-Antigen sebagai salah satu syarat kelengkapan dokumen perjalanan.

Terkait refund yang terjadi semenjak awal pandemi atau Maret 2020 lalu, Andhini menyebut, klaim pembatalan perjalanan yang diajukan oleh para pengguna Traveloka, telah hampir selesai seluruhnya. 

"Bagi yang belum terselesaikan, statusnya adalah masih menunggu konfirmasi dan proses lebih lanjut dari para mitra. Kami akan fokus untuk menyelesaikan permintaan refund yang belum diproses dan terus berkoordinasi secara intensif dengan mitra-mitra terkait," katanya. 

Sisa refund ini, kata Andhini sangat bergantung dengan kebijakan masing-masing maskapai. 

"Perlu kami tekankan kembali bahwa, sebagai platform pemesanan online, Traveloka akan sepenuhnya mengikuti kebijakan refund yang ditentukan oleh mitra maskapai, termasuk bentuk refund yang dikembalikan seperti Travel Voucher, lama waktu pengembalian refund, dan lain-lain," katanya. 

Dalam menangani refund ini, pihaknya bahkan mengalihkan setengah karyawan Traveloka sebagai bantuan tambahan untuk tim customer care hingga guna menyelesaikan persoalan refund secaemelakukan follow up yang intensif kepada para mitra.

"Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak pandemi COVID-19 merebak di Indonesia, kami menerima permintaan bantuan (refund) dengan volume yang sangat tinggi mencapai hingga 10 kali lipat dibandingkan dengan situasi normal.  Berbagai upaya juga telah kami lakukan untuk mengatasi situasi ini," katanya. 

Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio menyebutkan dirinya optimis bahwa pasca pandemi, pariwisata dapat menjadi tulang punggung dari perekonomian Tanah Air. Pasalnya, konsep dasar dari pariwisata adalah pergerakan manusia sehingga dia meyakini masyarakat akan kembali berminat untuk bepergian.

"Kalau tidak ada pergerakan ya juga tidak bisa (berhasil). Memang, mediumnya bisa digital, tetapi sekali lagi kalau tidak ada pergerakannya tidak bisa, karena manusia (di pariwisata) tidak bisa digantikan dengan digital," kata Wishnutama.