JAKARTA - Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta sepakat dengan rencana Presiden Joko Widodo yang mau mencabut pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada akhir 2022 karena sudah tidak memiliki urgensi untuk dilanjutkan.
"Dicabut tidak apa-apa karena sebenarnya sudah tidak ada urgensinya," kata Bayu Satria Wiratama saat dihubungi di Yogyakarta, Rabu 21 Desember.
Latar belakang kebijakan PPKM dimunculkan adalah karena pada awal pandemi COVID-19 belum ada intervensi yang ideal untuk menekan laju penularan kasus.
PPKM kala itu diberlakukan lantaran kasus COVID-19 di Indonesia tinggi disertai tingkat kematian yang terus bertambah, sementara vaksin belum ada.
Dengan kondisi demikian, pembatasan kegiatan masyarakat mau tidak mau diberlakukan untuk mengerem laju penularan.
"Dulu belum ada intervensi yang bagus bagaimana caranya kasus COVID-19 tidak terus menerus menimbulkan kematian, kemudian muncul ide PPKM," kata pengajar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM ini dikutip dari Antara.
Sedangkan sekarang, tingkat kekebalan masyarakat Indonesia sudah relatif tinggi seiring cakupan vaksinasi yang terus diperluas.
Kendati masih ada kasus, menurut dia, sebagian besar penderitanya memiliki tingkat keparahan dengan kategori ringan.
"Cenderung lebih banyak yang ringan daripada yang berat. Kalau pun ada lonjakan tidak signifikan dan yang penting tidak diikuti kematian tanpa dirawat di rumah sakit," ujar dia.
Namun demikian, Bayu meminta pemerintah tetap menggenjot cakupan vaksinasi "booster" atau penguat meski PPKM dihentikan, khususnya bagi kelompok masyarakat berisiko tinggi.
"Misalnya yang baru vaksin dosis satu agar segera mendapat dosis kedua sampai 'booster'. Kalau 'booster' semakin tinggi semakin bagus terutama kelompok-kelompok berisiko tinggi," kata dia.
Syarat vaksin booster untuk pelaku perjalanan, kata dia, juga sebaiknya dipertahankan dengan tujuan mempercepat cakupan.
"Karena di Indonesia memang orangnya butuh dipaksa untuk mengakses vaksinasi," kata dia.
Selain itu, ujar Bayu, upaya pelacakan, pemeriksaan, dan penanganan kasus atau 3T (tracing, testing, treatment) masih harus dilanjutkan karena faktanya kasus penularan masih ada.
Demikian pula protokol kesehatan 3M atau budaya sehat yang telah terbentuk di tengah masyarakat selama pandemi tidak perlu dihilangkan.
"3M sebenarnya lebih pada kesadaran orang mengetahui risiko masing-masing. Kalau merasa sehat, tidak punya komorbid enggak pakai masker sebenarnya risikonya rendah, tetapi kalau usia lanjut dan berada di tempat-tempat tertutup ya pakailah masker," ujar Bayu Satria Wiratama.
BACA JUGA:
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka kemungkinan memberhentikan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada akhir tahun 2022.
“Hari ini, kemarin, kasus harian kita berada di angka 1.200, dan mungkin nanti akhir tahun, kita akan menyatakan berhenti PSBB, PPKM kita,” kata Presiden Jokowi pada Outlook Perekonomian Indonesia Tahun 2023 di Jakarta, Rabu 21 Desember.
Presiden mengatakan hingga data terakhir, tren penurunan kasus harian COVID-19 terus terjadi.
Jokowi mencontohkan, hingga Selasa 20 Desember, kasus COVID-19 secara harian sebesar 1.200 kasus. Jumlah itu menunjukkan penurunan drastis dibanding puncak kasus saat varian COVID-19 Omicron yang mencapai 64 ribu kasus.
“Perjalanan seperti itu harus kita ingat betapa sangat sulitnya,” imbuhnya.