Bagikan:

JAKARTA - PT MRT Jakarta mempelajari pengembangan kawasan berorientasi transit (transit oriented development/TOD) di Jepang yang memungkinkan pergerakan masyarakat minim hambatan (seamless).

“Kami mempunyai kegiatan lanjutan untuk melakukan kunjungan langsung ke lapangan untuk melihat bagaimana implementasi transit oriented development di Tokyo sebagai benchmark (tolok ukur) kami,” kata Direktur Utama MRT Jakarta Tuhiyat di Tokyo, Jumat 2 Desember dikutip Antara.

Dia mengatakan untuk menciptakan TOD yang memungkinkan pergerakan minim hambatan harus ada enam integrasi yang dilakukan, yaitu integrasi fisik, manajemen, pembayaran, layanan, standar dan data.

“Ada enam integrasi yang mesti dilakukan untuk menciptakan seamless TOD seperti Jepang. Integrasi pertama itu integrasi fisik, seperti yang kita bangun, ada connecting bridge (jembatan), underground connection seperti yang kita lihat di Jepang,” katanya.

Namun, kata Tuhiyat, untuk integrasi dan pengembangan fisik membutuhkan waktu yang cukup lama.

Dia menambahkan bahwa Jepang sudah berpengalaman mengembangkan TOD selama 65 tahun, sementara MRT Jakarta baru memulai.

Integrasi kedua, kata dia, adalah integrasi manajemen yang bertanggung jawab mengendalikan arus publik di titik-titik TOD, sehingga memungkinkan pergerakan menjadi mulus karena dikendalikan satu manajemen sesuai dengan amanat Presiden RI.

Integrasi ketiga atau pembayaran, kata Tuhiyat, sedang dikembangkan, baik oleh MRT, TransJakarta, maupun Jaklingko Indonesia.

“Kemudian integrasi layanan itu harus satu standar internasional, sehingga bisa memberikan kepuasan bagi pelanggan dan integrasi data harus ada satu big data digital dan kita baru start,” katanya.

Selain itu, upaya integrasi harus melibatkan pemerintah dan sektor swasta, kata dia.

Tuhiyat mengakui bahwa pembangunan TOD MRT Jakarta di enam stasiun —Stasiun Lebak Bulus, Fatmawati, Blok M, ASEAN, Istora Senayan dan Dukuh Atas— mengalami keterlambatan dalam pembangunan fase 1 MRT.

“Seharusnya membangun track railway dibarengi dengan pembangunan TOD. Kawasan ke utara fase 2 mungkin east-west itu kita akan bareng pembangunannya supaya tidak terlambat,” katanya.

Sebab, kata dia, pertambahan penumpang (ridership) diawali dengan adanya pembangunan kawasan, sehingga orang bisa lebih mudah menjangkau stasiun.

Dalam kesempatan sama, Direktur Pengembangan Bisnis MRT Jakarta Farchad Mahfud mengaku optimistis bahwa pihaknya bisa mewujudkan TOD yang minim hambatan seperti di Jepang.

“Kalau di Jepang bisa, di Indonesia pasti bisa. Indonesia perlu waktu pembelajaran bagi publik terkait praktik baik yang diterapkan di luar negeri dan itu bisa diterapkan di Indonesia,” katanya.

Menurut Farchad, pengembangan TOD memiliki dampak kultural yang akan mengubah kebiasaan orang, sehingga publik harus dibuat nyaman terlebih dahulu dan dengan sendirinya akan memberikan dukungan.

“Mungkin ke depannya kita bisa (membuat) entrance (pintu masuk) stasiun MRT menyatu dengan gedung, tapi perlu pengelolaan secara hati-hati,” katanya.

Sementara itu, CEO Oriental Consultant Global Yonezawa Eiji yang menangani berbagai konsultasi pembangunan TOD di Jepang dan sejumlah negara Asia Tenggara termasuk Indonesia dengan MRT Jakarta, menyoroti sejumlah peluang dan tantangan dalam pembangunan TOD di Jakarta.

Sejumlah peluang, kata dia, adalah pembangunan MRT yang sedang berjalan dan perbaikan konektivitas lainnya, kesadaran publik terhadap gaya hidup sehat, dan peraturan terkait TOD.

Sementara tantangan-tantangan yang dihadapi di antaranya adalah pusat kota yang sudah terbangun dan terlalu banyak titik konsentrasi, gaya hidup masyarakat yang bergantung dengan kendaraan pribadi, terutama mobil, dan langkah pengendalian pasar lahan yang lemah.