Bagikan:

JAKARTA - Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma) diisukan akan menjadi pengganti Juliari Peter Batubara sebagai Menteri Sosial (Mensos). Juliari tersangkut dugaan kasus suap pengadaan bantuan sosial (bansos) COVID-19 di wilayah Jabodetabek.

Menanggapi isu ini, Ketua DPP PDI Perjuangan Ahmad Basarah kemudian membantahnya. Dirinya mengaku belum mendengar apapun, termasuk adanya tawaran agar Risma mengisi posisi yang ditinggalkan Juliari.

"Saya belum mendengar adanya informasi adanya tawaran Presiden Jokowi kepada Bu Risna untuk menjadi Menteri Sosial menggantikan Juliari," kata Basarah dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Senin, 14 Desember.

Menurutnya, siapapun yang akan menjadi pengganti di kursi Mensos adalah keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga keputusan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sebagai pimpinan tertinggi partai.

"Urusan mengenai siapa kader PDIP yang akan ditugaskan dan diusulkan kepada presiden menjadi Menteri Kabinet Indonesia Maju adalah wewenang dan hak prerogatif Bu Mega sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan," ungkapnya.

"Dan mengenai keputusan pengangkatan seorang menteri adalah hak prerogatif Presiden Jokowi," imbuh Wakil Ketua MPR RI ini.

Diberitakan sebelumnya, Risma juga telah membantah dirinya telah ditawari posisi sebagai Menteri Sosial. "Seng nawari sopo? (yang nawari siapa)," kata Risma.

"Nanti kita lihat, saya ikut Ibu Mega saja," tutur Risma.

Risma saat ditanya wartawan ulang soal posisi menteri pada kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin selalu bertanya balik soal sosok yang disebut-sebut menawarinya posisi menteri.

“Awak mu goreng-goreng dewe (mainkan sendiri),” kata Risma.

Yang jelas kata Risma belum ada tawaran yang dikomunikasikan ke dirinya. Risma menyebut urusan Pilkada Surabaya pun belum rampung.  

“Belum (ada komunikasi). Ini saja masih pilkada, jadi pilkada belum selesai,” imbuh Risma.

Diketahui, KPK menetapkan sejumlah tersangka terkait dengan dugaan kasus korupsi bantuan sosial (bansos) paket sembako untuk pengananan COVID-19 di wilayah Jabodetabek termasuk Menteri Sosial Juliari Batubara.

Selain Juliari, KPK juga menetapkan empat tersangka lainnya yaitu Pejabat Pembuat Komitmen di Kementerian Sosial (PPK) MJS dan AW sebagai penerima suap serta AIM dan HS selaku pemberi suap.

Ketua KPK Filri Bahuri mengatakan, kasus ini berawal ketika Juliari menunjuk dua pejabat pembuat komitmen (PPK) Matheus Joko Santoso dan Adi dalam pelaksanaan proyek ini dengan cara penunjukkan langsung para rekanan. 

"Dan diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS," kata Firli.

Ada pun untuk fee setiap paket bansos COVID-19 yang disepakati Matheus dan Adi sebesar Rp10 ribu dari nilai sebesar Rp300 ribu.

Matheus dan Adi kemudian membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan penyediaan bansos pada Mei-November 2020. Rekanan yang dipilih adalah AIM, HS, dan PT Rajawali Parama Indonesia alias PT RPI yang diduga milik Matheus.

"Penunjukkan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB dan disetujui oleh AW," ucapnya.

Pada pendistribusian bansos tahap pertama diduga diterima fee Rp 12 miliar. Matheus memberikan sekitar Rp 8,2 miliar secara tunai kepada Juliari melalui Adi.

Dalam operasi senyap ini, KPK juga menyita barang bukti berupa uang yang sudah disiapkan dari pemberi suap yakni AIM dan HS di salah satu apartemen di Jakarta dan Bandung. Uang Rp14,5 miliar disimpan di sejumlah koper dan tas serta terdiri dari pecahan rupiah dan uang asing.

"Masing-masing sejumlah sekitar Rp11, 9 miliar, sekitar USD 171,085 (setara Rp2,420 miliar) dan sekitar SGD 23.000 (setara Rp243 juta)," papar Firli.