BATAM - Imigrasi kelas I khusus Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) Batam menelusuri keberadaan pelaku pemalsuan stempel perpanjangan izin tinggal atau stempel keimigrasian berinisial S di Malaysia.
Kepala Kantor Imigrasi Batam Subki Miuldi mengatakan, penelusuran keberadaan pelaku berinisial ini diketahui dari pelaku lainnya yang terlebih dahulu sudah ditangkap pihak imigrasi Batam berinisial R.
"Pelaku S merupakan orang yang menyuruh R membuat stempel palsu tersebut. S ini merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di Malaysia dan saat ini dalam penelusuran kami," ujar Kepala Kantor Imigrasi Batam Subki Miuldi dilansir ANTARA, Selasa, 22 November.
Kasus pemalsuan stempel imigrasi ini kata Subki, dari adanya informasi yang diberikan Konsulat RI di Johor Bahru, Malaysia.
Pelaku R yang diamankan terlebih dahulu petugas imigrasi di Pelabuhan Batam Centre pada tanggal 3 Oktober 2022 itu diketahui memiliki 7 unit cap yang terdiri dari 4 unit cap berbentuk segi enam mirip tanda masuk dan 3 unit cap segitiga mirip cap tanda keluar. Dari tujuh cap itu terdapat kode BTC, Juanda dan CGK.
Pelaku R dari hasil penyelidikan diketahui merupakan pembuat tujuh unit cap tersebut. Pelaku membuat cap di kabupaten Batang, Jawa Tengah, kemudian membawa ke Malaysia untuk diserahkan ke pelaku lain.
"Pelaku R mengaku baru pertama kali melakukan kejahatan ini. Jadi cap dibawa pelaku dari Batang ke Malaysia lalu diserahkan ke pelaku S," ungkapnya.
BACA JUGA:
Stempel tanda masuk dan tanda keluar yang dipalsukan R itu diterakan ke paspor WNI yang berada di Malaysia. WNI yang ditera itu biasanya pemegang izin wisata yang melakukan kegiatan kerja disana.
"Setelah paspor WNI sudah di cap pelaku S maka seolah-olah telah keluar masuk wilayah Indonesia," ucapnya.
WNI yang telah ditera stempel imigrasi pada paspor nya diketahui tidak pernah keluar dari Malaysia. Penggunaan stempel paspor itu dilakukan untuk menambah waktu izin tinggal WNI yang menggunakan cap palsu tersebut.
Pelaku R melanggar pasal 128 huruf b UU nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun dan pidana denda Rp500 juta.