Pejabat Perempuan di Jepang Dicopot Masyarakat karena Mengungkap Pelecehan Seksual yang Dialaminya
Ilustrasi foto (Mika Baumeister/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Penduduk di sebuah kota kecil di Jepang, Kusatsu memberikan suara terbanyak untuk mencopot satu-satunya perempuan di dewan lokal. Hal tersebut dilakukan setelah dia menuduh wali kota melakukan pelecehan seksual.

Mengutip CNN, Kamis, 10 Desember, perempuan bernama Shoko Arai tersebut mendapatkan suara terbanyak untuk dicopot pada Minggu, 6 Desember. Permintaan pencopotan atas dasar tuduhan Arai telah "merendahkan" wanita di Kusatsu.

Secara total, 92 persen suara yang diajukan menuntut pencopotannya, menurut pejabat Kusatsu. Kontroversi dimulai pada November 2019, ketika Arai menerbitkan e-book yang mengklaim dia dipaksa melakukan hubungan seksual dengan Wali Kota Kusatsu, Tadanobu Kuroiwa.

Sebuah mosi untuk memecat wali kota ditolak. Meski begitu Arai dikeluarkan dari majelis sebulan kemudian, keputusan yang diikuti sebuah banding dan akhirnya dibatalkan oleh prefektur.

Setelah dia dipekerjakan kembali, sebanyak 19 warga yang dipimpin oleh ketua dewan Takashi Kuroiwa mengirim permintaan pemecatan ke dewan. Hal tersebut mendorong penggulingan Arai akhir pekan lalu.

Permintaan pencopotan juga mengklaim bahwa pernyataan Arai kepada media tentang tuduhan pelecehan seksual merusak reputasi Kusatsu. Hal ini menunjuk pada beberapa pernyataan khusus yang dibuat Arai, termasuk yang mengatakan bahwa wanita kota "diperlakukan sebagai objek" dan wanita sering menjadi simpanan bagi pemilik resor yang kuat untuk mendapatkan hak istimewa.

Wali Kota Kusatsu telah membantah tuduhan tersebut. Ia juga mengatakan gaji Arai sebagai anggota dewan adalah "pemborosan" uang pembayar pajak.

Dalam tanggapan resmi kepada dewan, Arai mengatakan bahwa Tadanobu Kuroiwa dan anggota dewan yang menyerukan pencopotannya adalah orang-orang yang merusak martabat dan reputasi kota. Pencopotan Arai telah mendorong kota itu menjadi sorotan nasional.

Sejak akhir pekan, balai kota telah menerima banyak telepon yang mengkritik pemecatan Arai, kebanyakan datang dari luar kota, kata pejabat Kusatsu Kenji Hagiwara. Banyak penelepon menyebut keputusan itu tidak adil dan seksis.

"Ini adalah situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata Hagiwara. "Kami khawatir citra kota ini rusak."

Seksisme di Jepang

Jepang berada di peringkat 121 dari 153 negara dalam indeks kesenjangan gender global terbaru Forum Ekonomi Dunia. Sedikit perempuan yang bekerja daripada laki-laki di negara itu.

Mereka yang bekerja sering kali dikesampingkan atau dijauhkan dari peran manajemen senior. Di rumah, perempuan juga melakukan sebagian besar pekerjaan rumah tangga seperti merawat anak, memasak, dan bersih-bersih.

Kesenjangan semakin melebar dalam politik. Pada Oktober, 46 dari 465 anggota parlemen majelis rendah di Jepang adalah perempuan. Angka tersebut kurang dari 10 persen, dibandingkan dengan 25 persen rata-rata global.

Mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada 2013 berjanji untuk menutup kesenjangan ketenagakerjaan gender, sebuah kebijakan yang dijuluki "Womenomics."

Kampanye tersebut mendorong sejumlah langkah, seperti menetapkan target setidaknya satu eksekutif wanita per perusahaan dan menawarkan insentif pajak kepada perusahaan yang mendorong para ibu untuk kembali bekerja.