JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempersilakan masyarakat atau Jaringan Pro Demokrasi (ProDem) melaporkan dugaan suap terkait tambang ilegal yang menyeret nama Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto. Pengaduan yang masuk dipastikan akan dipelajari.
"Tentu silakan siapa pun yang akan lapor dugaan korupsi ke KPK. Kami pasti tindaklanjuti,” kata Kepala Bagian Pemberitaan Ali Fikri kepada wartawan, Kamis, 10 November.
Ali mengatakan masyarakat berperan penting dalam upaya memberantas korupsi. Hanya saja, pelaporan itu harus dilengkapi data atau dokumen awal yang memudahkan KPK melakukan tindak lanjut.
Apalagi, KPK kerap mendapat laporan tanpa data sehingga pengusutan tak bisa dilakukan meski mereka sudah proaktif. "Kami berharap disertai pula data awal," tegas Ali.
"Karena tak jarang laporan tidak memenuhi standar adminsitratif laporan sebagaimana ketentuan perundangan yang berlaku," sambungnya.
Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDem), Iwan Sumule sempat mendatangi Divisi Propam Polri pada Senin, 7 November 2022. Iwan membawa dokumen laporan hasil penyelidikan (LHP) Nomor: R/LHP-63/III/2022/ Ropaminal tanggal 18 Maret 2022.
Dalam LHP itu, tercatat keterangan Ismail Bolong pada halaman 24, bahwa uang koordinasi diberikan kepada pejabat Mabes Polri. Antara lain Kepala Bareskrim Polri, Komjen Agus Andrianto; Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri; Kasubdit V Dittipidter Bareskrim Polri.
Uang koordinasi diberikan setiap satu bulan sekali Rp5 miliar dalam bentuk mara uang Dolar Singapura dan Dolar Amerika. Adapun, pembagiannya untuk Kabareskrim sebanyak Rp2 miliar (diserahkan langsung) dan sisanya Rp3 miliar diserahkan kepada Kasubdit V Dittipidter Bareskrim. Sedangkan, untuk pembagiannya tidak mengetahui.
BACA JUGA:
Selain itu, laporan hasil penyelidikan itu juga sudah diserahkan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dari Kepala Divisi Propam, saat itu Ferdy Sambo melalui surat Nomor: R/1253/WAS.2.4/ 2022/IV/DIVPROPAM, tanggal 7 April 2022.
Adapun kesimpulan hasil penyelidikan tersebut ditemukan fakta-fakta bahwa di wilayah hukum Polda Kalimantan Timur terdapat beberapa penambangan batu bara ilegal yang tidak dilengkapi izin usaha penambangan (IUP).
Namun, tidak dilakukan upaya tindakan hukum dari Polsek, Polres, Polda Kalimantan Timur dan Bareskrim Polri, karena adanya uang koordinasi dari para pengusaha tambang ilegal. Selain itu, ada kedekatan Tan Paulin dan Leny Tulus dengan pejabat Polda Kalimantan Timur.
Berikutnya, beredar video Ismail Bolong di media sosial yang mengaku melakukan pengepulan dan penjualan batu bara ilegal tanpa izin usaha penambangan (IUP) di Kalimantan Timur. Keuntungan yang diraupnya sekitar Rp5 miliar sampai Rp10 miliar tiap bulannya.
Selain itu, Ismail Bolong juga mengklaim sudah berkoordinasi dengan Kabareskrim Komjen Agus Andrianto yakni memberikan uang sebanyak tiga kali. Pertama, uang disetor bulan September 2021 sebesar Rp2 miliar, bulan Oktober 2021 sebesar Rp2 miliar, dan bulan November 2021 sebesar Rp2 miliar.
"Uang tersebut saya serahkan langsung kepada Komjen Pol Agus Andrianto di ruang kerja beliau setiap bulannya, sejak bulan Januari 2021 sampai dengan bulan Agustus yang saya serahkan langsung ke ruangan beliau," lanjut dia.
Tapi tiba-tiba, Ismail Bolong membuat pernyataan membantah melalui video juga hingga tersebar. Dalam video keduanya itu, Ismail Bolong memberi klarifikasi permohonan maaf kepada Kabareskirm Komjen Agus Andrianto atas berita yang beredar.
“Saya mohon maaf kepada Kabareskrim atas berita viral saat ini yang beredar. Saya klarifikasi bahwa berita itu tidak benar. Saya pastikan berita itu saya pernah berkomunikasi dengan Kabareskrim apalagi memberikan uang. Saya tidak kenal,” kata Ismail.
Ismail Bolong mengaku kaget videonya baru viral sekarang. Dia kemudian menjelaskan bulan Februari itu datang anggota Mabes Polri dari Biro Paminal Divisi Propam untuk memeriksanya.
Saat itu, Ismail Bolong mengaku ditekan oleh Brigjen Hendra Kurniawan yang menjabat Kepala Biro Paminal Divisi Propam Polri.
"Bulan Februari itu datang anggota dari Paminal Mabes Polri memeriksa saya untuk memberikan testimoni kepada Kabareskrim dalam penuh tekanan dari Pak Brigjen Hendra. Brigjen Hendra pada saat itu, saya komunikasi melalui HP anggota Paminal dengan mengancam akan membawa ke Jakarta kalau tidak melakukan testimoni," ungkap Ismail.