Bagikan:

JAKARTA - Peledakan situs kuno warisan suku Aborigin yang berusia 46 ribu tahun di Australia oleh perusahaan tambang Rio Tinto berbuntut panjang. Suku Aborigin Puutu Kunti Kurrama dan Pinikura (PKKP) menuntut empunya kebijakan untuk mengatur ulang izin sektor pertambangan dan melakukan moratorium.

Melansir CNA, Kamis, 10 Desember, penghancuran situs warisan budaya di Jurang Juukan pada bulan Mei, telah menciderai perasaan PKKP.  Lewat kuasa parlemen Australia, raksasa perusahaan tambang itu diminta membayar restitusi kepada PKKP.

Selebihnya, Rio Tinto diminta membangun kembali situs yang hancur, dan berkomitmen untuk melakukan moratorium permanen pertambangan di daerah tersebut. Tak hanya itu, parlemen Australia pun merekomendasikan agar semua perusahaan tambang yang beroperasi di Australia Barat meninjau kembali perjanjian dengan pemilik tanah tradisional. Langkah itu untuk segara menghentikan setiap perusakan situs warisan budaya.

Juru bicara PKKP Aboriginal Corporation, Burchell Hayes mengatakan bahwa kelompok tersebut menyambut baik temuan penyelidikan tersebut. “Hancurnya Jurang Juukan merupakan bencana global yang melanda hati masyarakat PKKP dan masyarakat luas,” katanya.

"Kami berharap temuan awal penyelidikan ini mendorong pengaturan ulang mendasar sektor ini, terutama dalam hubungan antara pemilik tradisional dan perusahaan pertambangan serta membuka jalan ke depan untuk kemitraan yang lebih setara yang dipupuk oleh rasa hormat dan saling menguntungkan," kata Hayes.

Rio Tinto pun mengungkap rasa bersalahnya. Empunya perusahaan Simon Thompson menyebut pihaknya berkomitmen untuk tak lagi menghancurkan situs budaya penting. Untuk itu, Rio Tinto sedang dalam proses mediasi perjanjian dengan kelompok pribumi dalam rangka merehabilitasi daerah Jurang Juukan dan membangun fasilitas untuk menyimpan artefak kuno.

"Kami menyadari kehancuran Jurang Juukan menyebabkan rasa sakit yang dalam bagi PKKP dan kami bekerja sangat keras untuk melakukan perbaikan dengan mereka," kata Simon Thompson.

Sebelumnya, Rio Tinto mendapatkan izin dari pemerintah setempat untuk meledakkan daerah itu. Akan tetapi, ledakan untuk menambang bijih besi nyatanya telah menghancurkan situs warisan budaya PKKP. Penghancuran itulah yang membuat publik Australia murka. Alhasil, dua pejabat setempat mengundurkan diri dan Rio Tinto dipaksa oleh investor untuk bertanggung jawab.