Bagikan:

JAKARTA - Kebakaran hutan di Australia membuat banyak orang menderita. Tak terkecuali suku Aborigin. Mereka prihatin terhadap situs bersejarah yang dilindungi, hancur dilalap api.

Seperti dikutip theguardian.com,  beberapa situs yang mungkin telah hancur di antaranya situs Gulaga (Gunung Dromedary) dan Gunung Mumbulla. Kedua situs yang membentang dari Shoalhaven sampai perbatasan Victoria tersebut merupakan yang paling penting bagi masyarakat Aborigin.

Selain itu, kebakaran juga melalap komunitas kecil Mogo, Teluk Batemans bagian selatan, dan menghancurkan kantor dewan pertanahan lokal, yang merupakan pusat sosial dan budaya komunitas Aborigin. Kebakaran hutan ini disebut-sebut sebagai kebakaran terparah dalam sejarah Australia. 

Cara Aborigin menjaga hutan

Selama lebih dari 50 ribu tahun, orang-orang pribumi Australia yakni suku Aborigin telah merawat tanah kelahirannya dengan tata kelola caranya mereka sendiri. Dengan menggunakan pembakaran tradisional, perangkap ikan, menanam dan mengumpulkan tanaman, mereka mampu menciptakan sistem yang berkelanjutan dan memasok makanan sesuai dengan yang mereka butuhkan. 

Seperti dijelaskan Landcare Australia, suku Aborigin punya sistem manajemen pengelolaan hutan tradisional yang bisa dibilang sangat efektif dalam menjaga kebakaran hutan. Teknik ala masyarakat pribumi itu adalah dengan cara membakar.

Memang terdengar kontradiktif, tapi memang itu caranya. Bahkan dengan teknik yang mereka terapkan itu bisa menciptakan padang rumput yang luas sampai-sampai mengundang binatang kangguru datang ke daerah tersebut. Mereka tahu kapan waktu yang tepat untuk membakar daerah tersebut. 

Para peneliti dan sejarawan percaya, kemampuan mereka untuk memilih area yang akan dibakar, kapan, dan seberapa sering dibakarnya, merupakan bagian dari pengetahuan masyarakat adat tentang tanah. Hasilnya, terciptanya sebuah mosaik pohon dan menciptakan padang rumput yang dapat meminimalisasi kebakaran hutan Eucalyptus. Soalnya, hutan tersebut merupakan hutan yang sangat mudah terbakar.  

Salah seorang profesor ahli pembakaran tradisional ala Aborigin dari Australian National University, Bill Gammage, mengatakan bahwa penggunaan api bisa diadopsi di seluruh negeri dan digunakan untuk berbagai masalah pengelolaan lahan. 

Gammage menjelaskan, ada tiga manfaat yang bisa diambil dari manajemen pembakaran tersebut. Pertama, mendorong regenerasi rumput dan menciptakan pupuk baru dari tanaman yang mati. Kedua, untuk mengurangi semak belukar yang menumpuk sehingga bisa menjadi bahan bakar ketika hutan terbakar secara intens. Ketiga, untuk meningkatkan biodiversitas.

Hal ini sudah diterapkan secara luas hampir di seluruh Negeri Kangguru tersebut, utamanya di wilayah bagian utara karena rumputnya lebih cepat tumbuh di musim panas, dan itu perlu dikendalikan. Selain itu di wilayah utara juga masyarakat adatnya mengelola tanah secara aktif. 

"Orang-orang Aborigin akan menerapkannya bahkan pada area yang sangat kecil sekali pun, misal membakar semak di sepanjang tepian sungai, atau mendorong semak-semak kering ke padang rumput," kata Gammage. 

Tradisi pembakaran lahan ala Aborigin perlu pemahaman yang baik khususnya tentang kondisi setempat untuk memastikan itu efektif dan aman. Seperti memperhatikan kondisi iklim, tanaman, dan hewan. 

Sementara itu untuk memilih waktu yang tepat, tergantung pada musim dan lokasi. Apalagi di daerah utara yang rumputnya lebih kering dan api lebih tidak bisa dikendalikan, sehingga perlu lebih cermat lagi penangananya. Untuk waktunya, yang paling pas adalah setelah musim hujan ketika rumput dan tanah masih lembab. 

Di Australia ada beberapa kelompok yang saling bersinergi soal pengelolaan tanah. Di antaranya Manajemen Pengelolaan Tanah Lokal, Konsil Pengelolaan Lahan Aborigin, dan kelompok-kelompok Perawatan Lahan.