JAKARTA - Perkara suap izin ekspor benih lobster turut mencatut nama keluarga Prabowo Subianto. Hal ini karena adik dan keponakannya yaitu Hashim Djojohadikusumo dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo terseret dalam kasus dugaan korupsi tersebut.
Ditangkapnya mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi awal terseretnya nama keluarga Prabowo Subianto pada kasus ini. Pasalnya, saat itu Edhy merupakan kader Partai Gerinda dan salah satu orang terdekat Prabowo Subianto.
Edhy diamankan KPK setibanya di Bandara Soekarno Hatta setelah kunjungan kerja ke Amerika Serikat, pada Rabu 25 November, dini hari. Penyidik KPK langsung menggiring Edhy dan 16 orang lainnya, termasuk sang istri yaitu Iis Rosita Dewi, untuk diperiksa.
Pada Rabu malam, Edhy ditetapkan sebagai tersangka. KPK bergerak cepat mengusut kasus ini. Beberapa tempat juga sudah digeledah. Antara lain, rumah dinas Edy Prabowo saat menjadi Menteri Kelautan dan Perinkanan.
Dari sana, KPK menyita delapan unit sepeda mewah dan uang dalam bentuk rupiah dan mata uang asing dengan total senilai sekitar Rp4 miliar. Sepeda dan uang ini juga diduga berkaitan dengan kasus suap ekspor benur atau benih lobster.
Kemudian, di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Hasilnya, KPK saat itu menyita uang tunai rupiah dan mata uang asing yang tak disebutkan berapa nominalnya serta sejumlah dokumen.
Selanjutnya, penggeledahan dilakukan di kantor PT Aero Citra Kargo (ACK) di kawasan Jakarta Barat pada Senin, 30 November. PT ACK merupakan sebuah perusahaan yang diduga melakukan memonopoli pengiriman benih lobster ke luar negeri. Indikasinya, perusahaan forwarding tersebut menjadi satu-satunya pemain dalam eksportasi benih lobster.
Usai penggeledahan, sejumlah barang bukti yang berkaitan dengan kasus suap ekspor benur dan benih lobster dibawa penyidik KPK. Adapun barang bukti yang ditemukan berupa dokumen dan bukti elektronik lainnya, hanya saja KPK tidak merincinya.
Barang bukti ini akan diinvetarisir dan dianalisa oleh penyidik komisi antirasuah dan penggeledahan di lokasi lainnya masih akan dilakukan.
Kemudian, pada Senin, 1 Desember kemarin, penyidik KPK melakukan penggeledahan di tiga tempat yang ada di wilayah Bekasi, Jawa Barat.
Adapun tiga lokasi yang digeledah adalah rumah, kantor, dan gudang milik tersangka penyuap Menteri Edhy Prabowo yaitu Direktur PT Duta Putra Perkasa, Suharjito (SJT).
Dari hasil penggeledahan yang dilaksanakan sejak pukul 15.00 WIB hingga 00.00 WIB, KPK menemukan sejumlah barang bukti terkait kasus ini. Termasuk bukti transaksi keuangan terkait pemberian suap.
BACA JUGA:
Edhy Bantah untungkan kolega
Jauh sebelum kasus korupsi ini terjadi, Edhy sempat membantah bahwa dibuka-nya izin ekspor benih lobster ini untuk menguntungkan koleganya. Ia juga membantah kementeriannya menerbitkan izin dengan tak transparan.
"Masalah perusahaan masalah siapa yang diajak, kami tidak membatasi dia harus perusahaan. Koperasi boleh tapi saya tidak bisa menentukan. Siapa yang mendaftar, kami terima dan verifikasi," kata Edhy, dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi IV DPR RI, Senin, 6 Juli.
Berdasarkan hasil penelusuran Tempo edisi 4 Juli 2020, terhadap 30 perusahaan yang telah ditetapkan sebagai calon eksportir menguak fakta lain. Sejumlah politikus hingga mantan terpidana penyelundupan benih lobster terafiliasi sebagai pemegang saham dan pengurus perusahaan.
Bahkan, banyak nama diketahui merupakan kader maupun pengurus DPP Partai Gerindra, partai asal Edhy Prabowo. Ada pula nama eks Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menjadi pemodal pada salah satu perusahaan eksportir benih lobster dari daerah asalnya yakni Nusa Tenggara Barat.
Hingga November 2020, sebanyak 65 perusahaan telah mengantongi izin ekspor benih lobster. Hashim Djojohadikusumo yang sempat mengurus izin untuk perusahaannya, PT Bima Sakti Mutiara atau sekarang bernama PT Bima Sakti Bahari, ikut dicurigai terlibat dalam praktik monopoli kasus dugaan suap izin ekspor.
Seperti diketahui, di perusahaan tersebut Hashim menjabat sebagai komisaris utama. Sementara anaknya, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menempati posisi direktur utama.
Gerah karena disangkutpautkan dengan kasus suap izin ekspor benih lobster yang menjarat Edhy Prabowo, Hashim menunjuk Hotman Paris Hutapea sebagai kuasa hukumnya. Hotman tak sendiri, Rahayu Saraswati turut serta mendampinya.
Hotman Paris menegaskan hingga saat ini perusahaan milik Hashim yaitu PT Bima Sakti Mutiara belum mempunyai atau masih menunggu kelengkapan izin ekspor benih lobster. Artinya, perusahaan tersebut belum melakukan ekspor.
Pernyataan Hotman ini sekaligus membantah isu praktik kronisme terkait ekspor benih lobster. Mengingat, dari beberapa perusahaan yang ditunjuk sebagai eksportir, salah satunya adalah perusahaan milik Hashim.
"Intinya adalah, bahwa ketangkapnya Pak Edhy atas dugaan sogok menyogok soal ekspor benur ini tidak ada kaitannya dengan perusahaan keluarga Hashim. Karena orang izinnya aja belum dapat sampai sekarang," katanya, dalam konferensi pers, di Jet Sky Cafe, Pantai Mutiara, Penjaringan Jakarta Utara, Jumat, 4 Desember.
Dalam penjelasannya, Hotman mengatakan, perusahaan milik Hashim masih membutuhkan kelengkapan untuk dapat izin melakukan ekspor benih lobster. Namun, ia mengakui, perusuhaan tersebut sudah memperoleh izin untuk budidaya lobster.
Adapun 4 sertifikat lagi yang harus dipenuhi PT Bima Sakti Mutiara untuk dapat izin eskpor adalah, pertama, surat keterangan telah melakukan pembudidayaan lobster bagi eksportir.
Kedua sertifikat instalasi karantina ikan. Ketiga sertifikat cara-cara pembibitan yang baik dan keempat, surat penetapan waktu pengeluaran.
Dalam kesempatan yang sama, pengusaha sekaligus adik Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo menegaskan pihaknya tidak mempunyai hubungan dengan perusahaan bernama PT Aero Citra Kargo (ACK).
Seperti diketahui, PT Aero Citra Kargo (ACK), sebuah perusahaan yang diduga melakukan memonopoli pengiriman benih lobster ke luar negeri.
"Saya mau tegaskan, keluarga kami termasuk Pak Prabowo tidak ada kaitan dengan perusahaan itu (PT ACK)," ujar Hashim.
Lebih lanjut, ia juga mengaku baru mengetahui perusahaan tersebut beberapa waktu lalu. Hashim berujar, dirinya sangat dirugikan dengan eksistensi perusahaan itu dan pelaku-pelakunya.
"Bahwa ada perusahaan namanya ACK, saya baru tahu Kamis lalu ada perusahaan izin cargo ACK. Saya baru tahu satu hari kemudian ada perusahaan izin. Saya juga baru tahu hari Kamis. Ini saya sampaikan supaya ada kejelasan. Kami merasa dikorbankan," jelasnya.
Hashim minta Edhy buka izin ekspor benih lobster
Hashim Djojohadikusumo mengakui sempat meminta mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo untuk membuka izin ekspor benih lobster sebanyak-banyaknya. Ia beralasan, agar tidak terjadi praktik monopoli dalam bisnis tersebut.
"Waktu itu saya ketemu Pak Edhy tahun lalu, saya bilang 'Ed berapa kali saya wanti-wanti, saya usulkan berikan izin sebanyak-banyaknya'. Saksi hidup ada banyak di belakang saya," katanya, dalam konferensi pers, di Jet Sky Cafe, Pantai Mutiara, Penjaringan Jakarta Utara, Jumat, 4 Desember.
Saat itu, Hashim mengaku, meminta Edhy membuka perizinan untuk 100 perusahaan calon eksportir benih lobster. Hingga November 2020, sebanyak 65 perusahaan telah mengantongi izin ekspor.
"Saya bilang, 'buka saja Ed, buka saja sampai 100. Karena Pak Prabowo tidak mau monopoli, dan kami tidak suka monopoli dan Partai Gerindra tidak suka monopoli. Berkali-kali saya sampaikan," tegasnya.
Hashim bantah menjadi salah satu perusahaan eksportir benih lobster
Meski meminta Edhy untuk membuka kuota ekspor benih lobster sebanyak 100 perusahaan, Hashim mengaku, perusahannya yaitu PT Bima Sakti Mutiara atau yang saat ini bersama PT Bima Sakti Bahari, tidak temasuk dalam daftar 65 perusahaan yang telah mengantongi izin ekspor.
"Kami ajukan izin untuk budidaya lobster, itu bulan Mei. Sebulan Kemudian, kami dapat surat penetapan budidaya lobster. Bukan ekspor lobster, budidaya. Dengan persyaratan kalau dipenuhi empat syarat baru bisa ekspor lobster. Tapi sampai saat ini kan (kami) belum melakukan ekspor lobster. Ini saya mau luruskan," ucapnya.
Di sisi lain, Hashim mengaku baru mengetahui ada monopoli kargo di bisnis ekspor benur ketika Edhy Prabowo ditangkap komisi pemberantasan korupsi (KPK) terkait dengan
Kasus dugaan suap penerbitan izin ekspor benih lobster.
Senada, Rahayu Saraswati menegaskan, perusahannya belum pernah mendapatkan izin untuk ekspor benih lobster. PT Bima Sakti Mutiara baru mendapatkan izin untuk budidaya lobster.
"Kami bukan pelaku ekspor karena sampai saat ini belum, izinnya juga belum kami dapatkan. Karena masih ada persyaratan yang harus dipenuhi yang sampai saat ini kami belum mendapatkan surat-surat. Walaupun kami sudah melalukan pembudidayaan, itu pun baru mulai," jelasnya.
Lebih lanjut, Sarah mengatakan, dirinya dan keluarga telah melakulan budidaya sejak tahun 1986. Saat itu, budidaya yang dilakukan adalah budidaya mutiara. Sedangkan, untuk budidaya lobster baru dimulai dan izinnya keluar pada tanggal 15 Juni 2020.
"Kami memang baru mulai, dan tanggal 7 November, kami melakukan pelepasliaran, restocking. Bukannya mengekspor, kami malah menambah stok lobster di Indonesia. Pelepasliaran lobster hasil budidaya, dari dinas kelautan dan perikanan Selong, Kabupaten Lombok Timur," tuturnya.