Bagikan:

JAKARTA - Mantan Sekretaris NCB Interpol Indonesia, Brigjen Nugroho Slamet Wibowo menyebut seluruh data Joko Tjandra masih bisa terlihat dalam sistem red notice meski sudah terhapus sejak 2014.

Pernyataan itu disampaikannya ketika menjadi saksi dalam persidangan dugaan gratifikasi penghapusan red notice untuk terdakwa Joko Tjandra.

"Masih bisa dilihat, istilahnya downgrade. Tapi tidak lagi menunjukkan data-data valid. Nomer pasport sudah mati, data-data perlintasan sudah tidak ada. Maka tidak mungkin orang itu akan melintas dengan pasport yang sudah mati," ujar Slamet Wibowo dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis, 3 Desember.

Bahkan, Wibowo kembali menegaskan jika data Joko Tjandra sudah benar-benar terhapus. Jaksa dalam persidangan bertanya ulang mengenai nama Joko Tjandra yang terhapus secara sistem. Alasannya karena pada 2019 nama Joko Tjandra seolah-olah masih tercatat pada sistem red notice.

"(Terhapus) Masih bisa dilihat," kata dia.

Tapi meski masih terlihat, Wibowo menegaskan jika data itu tak bisa digunakan lagi. Sebab, jika ingin digunakan harus diperbarui secara berkala.

"Tapi tidak bisa dipakai lagi, karena negara-negara lain tentunya tidak akan mempertanyakan. Setiap 5 tahun mesti diupdate," ujar dia.

Dalam kasus dugaan suap penghapusan red notice, penyidik menetapkan empat orang sebagai tersangka. Mereka berperan sebagai penerima dan pemberi. 

Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo ditetapkan sebagai tersangka karena diduga sebagai penerima suap penghapusan red notice. Sementara Tommy Sumardi dan Djoko Tjandra ditetapkan sebagai tersangka dengan dugaan sebagai pemberi suap.

Joko Tjandra didakwa memberikan suap kepada Irjen Napoleon sebanyak SGD200 ribu dan USD270 ribu dan kepada Brigjen Prasetijo sebesar USD150 ribu.