JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan yang diajukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) soal pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum berkaitan dengan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (20 persen).
Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid mengusulkan agar DPR maupun pemerintah merevisi UU Pemilu terkait ambang batas pencalonan presiden atau PT 20 persen kursi DPR. Revisi ini, menurutnya, sebagai konsekuensi positif dari putusan MK atas judicial review yang diajukan PKS.
"MK memang menolak permohonan uji materi PT 20 persen yang diajukan oleh PKS dan Dr. Salim. Tapi dalam amar pertimbangannya, secara tersirat MK menyatakan bahwa penentuan angka PT perlu berbasis kajian ilmiah," ujar Hidayat kepada wartawan, Jumat, 30 September.
Wakil Ketua Majelis Syura PKS ini kecewa karena MK tidak mengabulkan permohonan judicial review yang rasional, konstitusional, solutif dan berbasiskan legal standing yang jelas legal. Namun, kata dia, pihaknya mencermati pertimbangan putusan MK yang mengapresiasi apapun bentuk kajian ilmiah yang digunakan oleh pembentuk undang-undang.
"Keputusan MK ini mengecewakan, tetapi, ada 'kemajuan' yang bisa menjadi bekal bagi pembentuk undang-undang soal pemilu, untuk memperbaiki UU Pemilu sesuai spirit keputusan terakhir MK. Yaitu mengoreksi PT 20 persen berdasarkan kajian ilmiah," kata Hidayat.
Menurut pria yang akrab disapa HNW itu, PT 20 persen sudah tidak rasional dan tidak berbasiskan kajian akademik memadai. Pasalnya, banyak pihak yang menolak aturan itu karena menghambat hak konstitusional rakyat untuk mendapatkan alternatif calon-calon presiden terbaik.
Selain itu, kata dia, PT 20 persen juga membatasi hak partai dan banyak tokoh bangsa yang potensial untuk maju ke pilpres.
"Rakyat sebagai pemilik kedaulatan tidak mempunyai banyak alternatif, karena masyarakat hanya disodorkan calon yang sangat terbatas. Apalagi PT 20 persen itu telah dua kali dipraktekkan dan menghadirkan pembelahan di tengah rakyat dan penolakan yang luas," tegas HNW.
Pimpinan MPR itu menuturkan, UU memang melakukan pembatasan, misalnya adanya ketentuan parliamentary threshold serta syarat partai bisa ikut Pemilu. Bahkan untuk Pilpres 2004 dan 2009 juga ada PT tapi hanya 15 persen.
Aturan itu sudah berlaku dan tidak mendapatkan penolakan dari publik karena pembatasannya rasional dan tidak ekstrem.
"Tapi pembatasan yang mendapatkan penolakan dari masyarakat luas adalah PT 20 persen, karena tidak rasional, dan terbukti menimbulkan keterbelahan di masyarakat, dan membatasi secara ekstrim calon-calon pemimpin bangsa yang berkualitas. Hal yang mestinya dikoreksi, dan tidak malah dilanggengkan," kata HNW.
BACA JUGA:
Selain itu, lanjut HNW, juga ada kekhawatiran terkait pembatasan angka threshold yang terlalu ekstrim. Menurutnya, angka tersebut justru mengurangi prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana yang dijamin oleh Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945.
"Di sisi lain partai politik perlu menyadari tidak bebas sepenuhnya, tetapi ada aturan yang membatasi. Namun, pembatasan tersebut harusnya proporsional dan tidak ekstrim seperti PT 20 persen. Ini yang seharusnya menjadi rujukan bagi DPR dan Pemerintah untuk memperbaiki UU Pemilu, apalagi dengan adanya semangat baru yang dihadirkan oleh putusan MK yang terakhir itu," terangnya.
Karena itu, HNW mengingatkan agar DPR dan pemerintah sebaiknya memperhatikan saran dari masyarakat sebelum merevisi UU Pemilu. Dengan demikian, kata dia, pilpres ke depan dapat lebih berkualitas dan menghasilkan pemimpin yang bermutu.
"Faktanya ada 67 pihak yang mendaftar sebagai pihak terkait dari permohonan uji materi di MK itu, walaupun disayangkan MK tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyampaikan pandangan hukum, tapi itu sudah cukup membuktikan antusiasme masyarakat untuk mendiskusikan dan mengoreksi PT 20 persen," ungkap HNW.
Sebaiknya, sambung HNW, dalam pembahasan revisi UU Pemilu pasca keputusan MK yang terakhir, selain merujuk kepada kajian ilmiah, kanal partisipasi masyarakat juga perlu dibuka lebih luas oleh DPR dan Pemerintah agar kedaulatan rakyat bisa benar-benar dihadirkan.
"Diharapkan pilpres bisa lebih bermutu baik dalam proses maupun hasilnya, agar demokrasi dengan pemilu/pilpres, bisa dipercaya oleh rakyat sebagai solusi untuk masa depan Indonesia yang lebih baik, demokratis, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, sesuai ketentuan Konstitusi," pungkas HNW.