Bayi yang Terlahir dengan Antibodi COVID-19 Belum Tentu Kebal
Ilustrasi (Unsplash/Picsea)

Bagikan:

JAKARTA - Celine Ng-Chan seorang wanita yang terinfeksi COVID-19 di Singapura dalam keadaan hamil pada Maret lalu, kini bayinya telah lahir dengan memiliki antibodi penyakit tersebut. Lalu apakah ini artinya bayi yang punya antibodi tersebut bisa kebal terhadap COVID-19? 

"Dokter saya curiga saya telah memberikan antibodi COVID-19 saya kepadanya selama kehamilan saya," kata Ng-Chan. Saat terinfeksi COVID-19, ia tengah hamil 10 minggu. 

"Saya tidak khawatir Aldrin akan tertular COVID-19. Karena saya membaca bahwa risiko penularan (dari ibu ke janin) sangat rendah," tambahnya.

Ng-Chan bukan satu-satunya yang terinfeksi virus corona dalam keadaan hamil. Seperti dikutip The Straits Times, Senin 30 November, ia juga mengetahui wanita lain, yakni Natasha, mengalami hal yang sama ketika sedang mengandung anak pertamanya.

Natasha, seorang terapis bicara dan bahasa berusia 29 tahun, dinyatakan positif terkena virus corona pada minggu ke-36 kehamilannya pada Maret. Dia melahirkan bayinya pada 26 April dan mungkin bayi tersebut mungkin adalah bayi pertama yang lahir di Singapura dengan antibodi COVID-19.

Belum diketahui saat ini berapa banyak bayi di Singapura yang lahir dari rahim ibu yang menderita COVID-19. Bukti saat ini juga menunjukkan bahwa bayi yang baru lahir tertular COVID-19 dari ibunya tidak dipengaruhi oleh cara persalinan, pilihan makanan seperti ASI atau botol, atau jika ibu dan bayi tinggal di kamar yang sama setelah melahirkan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan belum diketahui apakah seorang wanita hamil dengan COVID-19 dapat menularkan virus ke janin atau bayinya selama kehamilan atau persalinan. Hingga saat ini, virus aktif belum ditemukan pada sampel cairan pada bayi di dalam kandungan atau di ASI. 

Antibodi tak bertahan lama

Orang yang sembuh dari infeksi virus biasanya punya respons kekebalan dan mengembangkan proteksi terhadap penyakit bersangkutan. Sistem kekebalan tubuh memproduksi antibodi, yang mampu mengenali virusnya jika menyerang untuk kedua kali. Antibodi seyogyanya juga tahu cara memeranginya.

Namun dalam kasus virus corona baru, menurut penelitian yang dilakukan di rumah sakit Schwabing di Munchen Jerman yang dikutip Deutsche Welle menunjukkan adanya penyimpangan dari hal lazim itu. 

Pasalnya antibodi yang ada pada tubuh mantan pasien COVID-19 bisa menghilang hanya dalam waktu dua sampai tiga bulan. Dalam kondisi seperti ini, pasien bisa kembali terinfeksi virus corona karena tidak lagi memiliki perlindungan.

Adapun dokter di China melaporkan di jurnal Emerging Infectious Diseases, bahwa antibodi yang terdeteksi pada bayi dapat mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Itu artinya, bayi yang memiliki antibodi warisan ibunya, belum pasti memiliki kekebalan terhadap virus corona baru atau SARS-CoV-2.

Terkait