Bagikan:

JAKARTA - Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa didesak mundur dari jabatannya oleh tiga majelis pimpinan, yaitu Majelis Syariah, Majelis Kehormatan, dan Majelis Pertimbangan.

Desakan mundur ini dilayangkan buntut dari pidato 'amplop kiai' yang dianggap menyinggung para ulama dan pesantren.  Selain soal 'amplop Kiai', apakah ada hal lain yang membuat 3 majelis pimpinan di PPP turun tangan?

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Andriadi Achmad, mengatakan fenomena polemik kepemimpinan PPP sejak beberapa tahun belakangan memang sudah sering terjadi. 

"Bermula ketika pilpres 2014, dimana PPP terbelah menjadi dua kubu yaitu kubu Surya Darma Ali (SDA) yang saat itu mendukung Prabowo-Hatta dan kubu Romahurmuziy yang mendukung Jokowi-JK. Namun, pada akhirnya kemenkumham mengesahkan PPP kubu Romahurmuziy," ujar Andriadi kepada VOI, Selasa, 30 Agustus. 

Setelah kepemimpinan Romy yang terjerat kasus korupsi pada 2019, lanjutnya, kepemimpinan PPP di Pjs kepada Suharso Monoarfa. Kemudian setelah Munas PPP Suharso Monoarfa ditunjuk sebagai Ketum PPP definitif. 

"Kalau saat ini Suharso Monoarfa digoyang kembali oleh 3 majelis PPP, bisa saja penyebabnya ungkapan 'amplop kiai' beberapa waktu lalu," katanya. 

Apalagi, kata Andriadi, PPP adalah salah satu partai Islam yang didukung para ulama dan kiai. Tentu ungkapan 'amplop kiai' menyinggung para ulama dan kiai. 

"Menurut hemat saya wajar kalau desakan tiga majelis PPP agar Suharso Monoarfa mundur dari Ketum PPP, karena dinilai menyinggung dan mendiskreditkan para ulama dan kiai yang notabene kader dan basis massa PPP," jelas Direktur Eksekutif Nusantara Institute PolCom SRC itu.

Di sisi lain, menurut Andriadi, pada Pileg 2019 dibawah kepemimpinan Suharso Monoarfa PPP tidak menunjukkan peningkatan. Bahkan PPP menjadi partai juru kunci di parlemen dengan perolehan suara 4,52 persen atau 19 kursi. 

"Selain itu, bisa jadi penyebab lain majelis PPP mendesak Suharso Monoarfa mundur, karena dinilai PPP dibawah kepemimpinan Suharso Monoarfa bisa membawa PPP tidak lolos PT pada pileg 2024 mendatang," katanya. 

Menurut Andriadi, apabila Suharso mundur maka akan berpengaruh pada koalisi yang saat ini tengah dibangun bersama Golkar dan PAN untuk Pemilu 2024. Bukan tidak mungkin, PPP akan keluar dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).

"Kalau sampai Suharso Monoarfa mundur dari Ketum PPP, tidak menutup kemungkinan akan berdampak pada KIB, bisa saja PPP keluar dari KIB. Karena terkait dengan dukung mendukung atau koalisi pilpres 2024," demikian Andriadi. 

Sebelumnya, Tiga Majelis pimpinan di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yaitu Majelis Syariah, Majelis Kehormatan, dan Majelis Pertimbangan mengirim surat kedua kepada Suharso Monoarfa agar segera mengundurkan diri dari posisi Ketua Umum DPP PPP. 

Surat kedua ini merupakan buntut adanya pernyataan Suharso terkait amplop kiai sebagai bentuk politik uang. Sementara surat pertama, berisi permohonan serupa juga tidak mendapat respons.  

"Permintaan pengunduran ini kepada saudara Suharso Monoarfa ini semata hanya untuk kebaikan kita bersama sebagai pengemban amanah dari pendiri PPP," tulis surat yang tersebar di kalangan wartawan, Senin, 29 Agustus. 

Surat tersebut tampak ditandatangani oleh Ketua Majelis Syariah Mustofa Aqil Siroj, Ketua Majelis Kehormatan Zarkasih Nur, dan Ketua Majelis Pertimbangan Muhamad Mardiono.

Selain itu, adapula tanda tangan putra almarhuh Kiai Maimoen Zubair yaitu Abdullah Ubab Maimoen Zubair dan juga Ahmad Haris Shodaqoh, Muhyidin Ishaq, dan Fadlolan Musyaffa.