Pemimpin AS, Inggris, Prancis dan Jerman Bahas Masalah Nuklir Iran untuk Menghidupkan Kembali Kesepakatan 2015
Ilustrasi pembahasan pemulihan Kesepakatan Nuklir 2015. (Wikimedia Commons/U.S. Department of State)

Bagikan:

JAKARTA - Para pemimpin Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Jerman membahas upaya untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015, kata Gedung Putih dalam pernyataan Hari Minggu.

"Mereka membahas negosiasi yang sedang berlangsung mengenai program nuklir Iran, kebutuhan untuk memperkuat dukungan bagi mitra di kawasan Timur Tengah, dan upaya bersama untuk mencegah dan membatasi kegiatan regional Iran yang tidak stabil," kata Gedung Putih mengenai pembicaraan keempat pemimpin, melansir Reuters 22 Agustus.

Kendati demikian, Gedung Putih tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai masalah Timur Tengah dari diskusi yang diikuti Presiden AS Joe Biden, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Olaf Scholz.

Diketahui, Uni Eropa dan Amerika Serikat pekan lalu mengatakan, mereka sedang mempelajari tanggapan Iran terhadap apa yang disebut Uni Eropa sebagai 'proposal final', untuk menghidupkan kembali Kesepakatan Nuklir 2015.

Kesepakatan itu bertujuan mengekang program nuklir Iran, dengan Barat memberikan keringanan sanksi ekonomi sebagai imbalannya.

Kegagalan dalam negosiasi nuklir dapat meningkatkan risiko perang regional baru, dengan Israel mengancam tindakan militer terhadap Iran, jika diplomasi gagal mencegah Teheran mengembangkan kemampuan senjata nuklir.

Iran, yang telah lama membantah memiliki ambisi seperti itu, telah memperingatkan tanggapan "menghancurkan" terhadap setiap serangan Israel.

Pekan lalu, Iran menantikan fleksibilitas Amerika Serikat untuk menyelesaikan tiga hal yang masih menjadi sorotan Teheran, terkait proposal 'final' Uni Eropa mengenai upaya pemulihan Kesepakatan Nuklir 2015.

"Ada tiga masalah yang jika diselesaikan, kita dapat mencapai kesepakatan dalam beberapa hari mendatang," kata Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian, menunjukkan tanggapan Teheran tidak akan menjadi penerimaan atau penolakan akhir.

"Kami telah mengatakan kepada mereka, bahwa garis merah kami harus dihormati. Kami telah menunjukkan fleksibilitas yang cukup. Kami tidak ingin mencapai kesepakatan, bahwa setelah 40 hari, dua bulan atau tiga bulan gagal terwujud di lapangan," tandasnya.

Diketahui, Presiden AS saat itu Donald Trump, mengingkari kesepakatan nuklir yang dicapai sebelum dia menjabat pada tahun 2018.

Ia menyebutnya terlalu lunak terhadap Iran, dan menerapkan kembali sanksi keras AS. Itu mendorong Iran untuk mulai melanggar batas pengayaan uraniumnya.