Bagikan:

JABAR - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat (Jabar) membentuk satuan tugas (satgas) untuk mencari solusi atas tuntutan pegawai honorer tenaga kesehatan (nakes) dan non-kesehatan di daerah itu.

Hal itu dikatakan Gubernur Jabar M Ridwan Kamil usai menerima perwakilan tenaga honorer guru dan kesehatan di Gedung Sate Bandung, Selasa 9 Agustus.

"Semua aspirasinya saya terima dengan baik, solusi Jabar adalah membentuk satuan tugas. Satuan tugas ini dibentuk antara perwakilan mereka dengan tim dari Jabar secara transparan untuk mencari solusi," kata dia.

Ridwan Kamil mengatakan, jika tuntutan yang disampaikan kepada para pegawai honorer tenaga kesehatan dan guru tersebut ada di bawah kewenangan pemda maka pihaknya akan memperjuangkannya, begitupun jika kewenangannya ada di pemerintah pusat.

"Kalau kewenangan pusat, kita berjuang sama-sama ke pusat, kalau kewenangannya provinsi kita cari solusi di provinsi, kalau kewenangan bupati wali kota, kita bikin edaran dan lain sebagainya," ujar dia.

Ridwan Kamil menuturkan peran tenaga kesehatan baik yang berstatus honorer sangatlah penting, terlebih saat pandemi COVID-19, keberadaannya sangat dibutuhkan.

"Tapi sering kali tempat mereka bekerja perlu ditingkatkan untuk pendapatan unit kerjanya. Saya menerima aspirasi itu dan memberi solusi. Kita turunkan pertemuan. Seiring anggaran kita yang sudah membaik," ujarnya.

Sebelumnya, pada Jumat 5 Agustus, para pegawai honorer tenaga kesehatan melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate Bandung.

Mereka menuntut agar tenaga kesehatan berstatus honorer dan di fasilitas layanan kesehatan Provinsi Jabar diangkat menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K).

Forum Komunikasi Honorer Fasyankes (FKHF) Jawa Barat mengaku lega karena bisa diterima oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil hari ini.

"Alhamdulillah kami diterima dengan baik. Pak Gubernur akan membentuk tim khusus. Diharapkan ada solusi terkait apa yang kami tuntut," kata Wakil Ketua FKHF Jawa Barat, Saeful Anwar di Gedung Sate Bandung.

Saeful menuturkan dalam pengangkatan P3K mereka meminta diberi afirmasi dan mengingat pengabdiannya sudah lama, belasan hingga puluhan tahun.

Kalaupun ada tes tulis dalam pengangkatan P3K, kata Saeful, maka standardnya diturunkan dan tuntutan ini imbas dari PP No. 49 Tahun 2018 yang akan menghapuskan tenaga honorer.

"Tentu semua sudah tahu terkait adanya PP 49 Tahun 2018, kita di seluruh fasilitas layanan kesehatan di wilayah Jawa Barat milik pemerintah baik itu provinsi maupun kota Kabupaten, merasa terancam dengan adanya PP 49 2018 ini," kata dia.

Dia mengatakan mayoritas puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah di seluruh Jawa Barat sudah berstatus BLUD sehingga pengelolaan keuangannya pun disesuaikan dengan BLUD.

"Sehingga dengan adanya PP ini tidak boleh ada lagi non-ASN di dalam institusi pemerintah. Tapi, kenyataannya pemerintah daerah tidak bisa mengakomodir kami, karena keterbatasan biaya," ujar Saeful.

Lebih lanjut ia mengatakan dengan PP tersebut maka pemerintah pusat melimpahkan semuanya pada daerah sedangkan sekitar 70 persen sampai 75 persen tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas layanan kesehatan milik pemerintah adalah honorer.

"Kami berharap pemerintah pusat mengkaji ulang PP ini. Kalau betul-betul PP ini akan berlaku, kami lihat pemerintah belum siap," tandasnya.