MATARAM - Sebanyak 113 pengacara yang tergabung dalam Advokat NTB Bersatu mengajukan permohonan penghentian penuntutan oleh kejaksaan terkait kasus Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) NTB, Ida Made Santi Adnya yang menjadi tersangka penyebar hoaks dalam promosi lelang hotel.
Yan Mangandar, Koordinator Advokat NTB Bersatu yang ditemui di Gedung Kejati NTB, Mataram menjelaskan, dasar 113 pengacara bersama tersangka Made Santi mengajukan permohonan ini melihat ketentuan Pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP.
"Jadi, perbuatan tersangka mengunggah dokumen pelelangan hotel, mempromosikannya melalui akun facebook milik pribadi-nya itu bukan sebagai sebuah tindak pidana. Karena itu, kami ajukan permohonan penghentian penuntutan dengan dasar ketentuan Pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP," kata Yan Mangandar di lokasi dilansir dari Antara, Selasa, 2 Agustus.
Terkait dengan perbuatan tersangka Made Santi mempromosikan lelang hotel yang berada di Kota Mataram itu juga membawa status diri sebagai pengacara yang menerima kuasa dari kliennya, yakni istri dari pelapor atau pemilik hotel.
Sebagai kuasa hukum dari istri pelapor, Made Santi mendapat kuasa untuk mengeksekusi dan mencari calon pembeli hotel termasuk mempromosikannya melalui media sosial.
Bahkan dokumen lelang dan surat penilaian aset yang diunggah di akun Facebook Made Santi pada tahun 2021 itu sudah berstatus resmi, muncul dari hasil hitung tim appraisal.
Proses lelang di KPKNL Mataram itu pun mendasar pada putusan perdata terkait pembagian harta antara istri pelapor yang menjadi klien tersangka Made Santi dengan pelapor.
"Perkara perdata itu sudah sampai putusan inkrah di Mahkamah Agung. Objek yang disengketakan, termasuk hotel itu, sudah jelas. Jadi bukan hoaks," ujar dia.
Sehingga Yan Mangandar bersama 112 pengacara lainnya meyakini bahwa perbuatan tersangka Made Santi bukan sebuah tindak pidana yang melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Jadi, kedatangan kami ini meminta penuntutan untuk dihentikan. Karena kewenangan itu ada di penuntut umum, maka kami ajukan ke Kejati NTB," ucap dia.
Bahkan dalam upaya memberi dukungan kepada tersangka Made Santi, pihaknya turut melayangkan permohonan serupa ke Kejaksaan Agung.
"Jangan sampai berkaca dari kasus ini, nantinya banyak bermunculan kriminalisasi terhadap profesi kami sebagai advokat. Itu yang juga menjadi dasar kami mengawal kasus ini dengan mengajukan permohonan penghentian penuntutan," ujarnya.
Terkait dengan hal tersebut, Iwan Hendarso, Kepala Seksi TPUL Kejati NTB yang juga merupakan salah seorang anggota penuntut umum dari kasus Made Santi menyampaikan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti permohonan ini ke Kepala Kejati NTB Sungarpin.
"Sesuai ketentuan, apa yang menjadi keinginan rekan-rekan pengacara akan kami teruskan ke pimpinan (Kajati NTB)," kata Iwan.
Terkait keputusan nantinya apakah akan dihentikan atau berlanjut ke proses persidangan di pengadilan, jelas Iwan, itu menjadi kewenangan Jampidum.
"Artinya, kami meminta waktu untuk menunggu ekspose di Kejagung. Bagaimana keputusannya, itu ada pada keputusan di Kejagung," ujarnya.
Penyidik Siber Polda NTB pada Rabu (27/7), melaksanakan pelimpahan tersangka dan barang bukti kasus Made Santi ke penuntut umum. Pihak kepolisian melaksanakan pelimpahan berdasarkan tindak lanjut hasil penelitian jaksa yang telah menyatakan berkas perkara sudah lengkap.
Dalam pelimpahan kasus yang kini berjalan di tahap penuntutan tersebut, pihak kejaksaan tidak melakukan penahanan terhadap Made Santi karena pertimbangan sikap kooperatif dan status dia yang masih aktif sebagai Ketua PHDI NTB.
Dalam perkara ini, Made Santi menjadi tersangka yang diduga menyebarkan berita bohong melalui unggahan media sosial pribadi. Unggahan pada 20 Februari 2021 tersebut berkaitan dengan promosi penjualan hotel berbintang bernama Bidari yang berada di Kota Mataram.
Made Santi terungkap mempromosikan penjualan itu melalui unggahan pada akun facebook milik pribadi-nya. Made Santi menjual dengan memberi informasi bahwa hotel tersebut baru dilelang di tahun 2021.
Namun, dari hasil penyidikan terungkap bahwa proses pelelangan hotel tersebut berlangsung di tahun 2020. Hal itu pun diperkuat dengan adanya bukti dokumen penilaian aset yang berlangsung di tahun 2020.
"Jadi unggahan tersangka ini tidak sesuai dengan fakta sehingga masuk dalam penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik," ucap Ajun Komisaris Besar Polisi Darsono Setyo Adjie, Pelaksana Harian (Plh) Kepala Subbidang Siber Ditreskrimsus Polda NTB.
BACA JUGA:
Hal itu pun sesuai dengan sangkaan pidana yang menetapkan Made Santi sebagai tersangka, yakni Pasal 28 ayat 1 Juncto Pasal 45A ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 19/2016 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).