Alasan Uni Emirat Arab Longgarkan Syariat Islam seperti Bebaskan Miras dan Kumpul Kebo
Burj Khalifa (Jeremy Bishop/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Uni Emirat Arab (UEA) mulai melonggarkan syariat Islam lewat reformasi peraturan. Kumpulan negara-negara Arab ini disebut telah mengadopsi pendekatan yang semakin liberal terhadap kebebesan sosial. Lantas, apa alasannya?

Mengutip CNN, Selasa 10 November, selama akhir pekan, UEA mengumumkan berbagai aturan baru. Beberapa yang mereka paparkan yakni soal aturan dekriminalisasi alkohol, bunuh diri, serta mencabut larangan tinggal bersama untuk pasangan yang belum menikah. UEA juga membatalkan apa yang disebut "kejahatan kehormatan" yang memberi hukuman ringan kepada pria yang menyerang kerabat wanita untuk melindungi reputasi keluarga.

Sementara itu, orang asing yang tinggal di UEA juga dapat mengikuti undang-undang negara asal mereka tentang perceraian dan warisan, daripada menggunakan undang-undang UEA berdasarkan hukum agama Islam. UEA merupakan wilayah yang jumlah migrannya lebih banyak dari penduduk asli. Regional ini juga telah lama mencitrakan sebagai daerah tujuan bisnis dan wisata modern.

UEA telah mengadopsi pendekatan yang semakin liberal terhadap kebebasan sosial dalam beberapa tahun terakhir. Hal tersebut membantu menarik ekspatriat ke negara tersebut dan mempertahankan mereka yang sudah tinggal di sana. Ketika ekonomi UEA berkontraksi pada 2020 karena pandemi COVID-19 dan penurunan harga minyak, mereka berusaha menarik ekspatriat untuk tetap meluncurkan program pensiun dan memudahkan jalan menuju naturalisasi. 

"Keputusan itu bertujuan untuk memperkuat kepatuhan UEA terhadap pentingnya menciptakan lingkungan hukum yang sesuai dengan keragaman budaya," tulis kantor berita negara WAM. "Negara berkomitmen untuk membangun lingkungan sosial dan ekonomi yang kompetitif dan aman."

Dalam beberapa tahun terakhir, aturan konservatif sosial di UEA jarang diberlakukan. Namun, kemungkinan menghukum orang karena perilaku liberal secara sosial telah membayangi mayoritas penduduknya. Formalisasi reformasi melegakan banyak penduduk yang secara sosial liberal.

Aturan LGBT

Meski UEA mulai melonggarkan syariat Islam dan menerapkan peraturan yang lebih liberal, namun peraturan soal lesbian, gay, biseksual, dan transgender masih belum jelas. Seperti diketahui, UEA masih menindak orang-orang yang berorientasi seksual homosekusal dengan Undang-Undang yang melarang adanya hal tidak senonoh. Orang seperti ini bisa dipenjara satu tahun.

Selain itu, reformasi hukum ini juga belum jelas mengatur soal praktik yang masih dianggap awam seperti mengumbar kemesraan di depan publik. Hal itu pasalnya masih dianggap tabu di sana.

Selain itu, tidak ada tanda bahwa UEA berencana untuk melonggarkan cengkeramannya pada ekspresi politik atau secara substansial memperbaiki catatan hak puluhan ribu pekerja migran. Untuk menggarisbawahi bahwa reformasi politik tidak ada di mana-mana, UEA memutuskan bahwa setiap "rasa tidak hormat" yang ditunjukkan terhadap bendera negara atau bendera negara bagian mana pun, akan dikenakan hukuman penjara hingga 25 tahun penjara dan denda 500.000 dirham.

Dalam beberapa hal, sikap UEA mirip dengan Arab Saudi. Penguasa de facto kerajaan, Putra Mahkota Mohammed bin Salman dengan keras menepis perbedaan pendapat sambil mengantarkan reformasi sosial dan ekonomi. Para pendukungnya berpendapat bahwa tangan besi sang pangeran sangat penting untuk menarik Arab Saudi keluar dari masa lalu yang ultra-konservatif. Tetapi para pembela hak di kerajaan mengatakan bahwa pelanggaran hak di bawah Putra Mahkota belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan untuk monarki absolut negara itu.

Kedua negara juga telah memberlakukan embargo terhadap mantan sekutunya, Qatar, dan memasuki perang di Yaman untuk menghancurkan pemberontak Houthi yang didukung Iran. Hal tersebut memicu krisis kemanusiaan di negara itu.