Bagikan:

JAKARTA - Penyidik Direktorat Tindak Pidana Cyber Bareskrim Polri menjadwalkan ulang pemeriksaan terhadap Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Ahmad Yani. Pemeriksaan dijadwalkan dilakukan pekan depan.

"Penyidik akan direncanakan minggu depan untuk dipanggil ulang. Untuk hari tanggalnya, nanti kita akan sama-sama tunggu," ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Awi Setiyono kepada wartawan, Rabu, 4 November.

Penjadwalan ulang pemeriksaan, kata Awi bukan karena adanya kesalahan pada surat panggilan. Melainkan dilakukan karena Ahmad Yani mangkir dalam panggilan pemeriksaan sebelumnya pada Rabu, 3 November.

"Selama ini tidak ada komplain. Kita sudah melaksanakan proses administarsi sesuai manajemen penyidikan," tegas Awi.

Sebelumnya, Ahmad Yani tak memenuhi panggilan pemeriksaan terkait perkara dugaan ujaran kebencian dan penghasutan di media sosial. Ahmad Yani sedianya diperiksa sebagai saksi atas pengembangan tersangka Anton Permana.

Anggota tim pengacara Ahmad Yani, Mayjen TNI (Purn) Syamsu Djalal mengatakan tak hadirnya kliennya itu karena surat panggilan yang dilayangkan penyidik tidak jelas.

"Tolong pak polisi diperbaiki panggilan itu, dia sebagai saksi, saksi apa belum jelas saksinya, kasus apa dan siapa tersangkanya, makanya kami datang ke sini," ujar Djalal kepada wartawan, Selasa, 3 November.

Djalal berharap surat panggilan terhadap Ahmad Yani diperbaiki. "Kalau sekarang mau periksa apa, ngga ngerti. Makanya kami ke sini untuk menyampaikan hal demikian," kata dia.

Bareskrim Polri menetapkan 9 orang sebagai tersangka penyebaran ujaran kebencian dan penghasutan terkait kericuhan aksi demonstrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja.

Dari 9 orang itu 7 di antaranya merupakan anggota dan petinggi KAMI antara lain, Syahganda Nainggolan, Anton Permana, Jumhur Hidayat, Juliana, Devi, Khairi Amri, Wahyu Rasari Putri.

Sedangkan untuk dua lainnya yakni mantan calon anggota legislatif PKS Kingkin Anida dan Dedy Wahyudi pemilik akun media sosial @podoradong.

Mereka disangkakan dengan pasal berbeda-beda. Namun, secara garis besar mereka dijerat dengan Undang-Undang ITE, pasal ujaran kebencian dan penyebaran hoaks.