Bagikan:

JAKARTA -  Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Ahmad Yani tak memenuhi panggilan pemeriksaan terkait perkara dugaan ujaran kebencian dan penghasutan di media sosial. Ahmad Yani sedianya diperiksa sebagai saksi atas pengembangan tersangka Anton Permana.

Anggota tim pengacara Ahmad Yani, Mayjen TNI (Purn) Syamsu Djalal mengatakan tak hadirnya kliennya itu karena surat panggilan yang dilayangkan penyidik tidak jelas.

"Tolong pak polisi diperbaiki panggilan itu, dia sebagai saksi, saksi apa belum jelas saksinya, kasus apa dan siapa tersangkanya, makanya kami datang ke sini," ujar Djalal kepada wartawan, Selasa, 3 November.

Djalal berharap surat panggilan terhadap Ahmad Yani diperbaiki. "Kalau sekarang mau periksa apa, ngga ngerti. Makanya kami ke sini untuk menyampaikan hal demikian," kata dia.

Menanggapi pernyataan tersebut, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono menyebut dalam membuat surat panggilan penyidik sudah mengikuti aturan yang berlaku.

"Bahwasanya kita sampaikan selama ini penyidik sudah sesuai dengan SOP yang ada, sesuai dengan manajemen penyidikan dan sesuai dengan KUHAP," tegas Awi.

Sedangkan soal alasan Ahmad Yani yang menyebut surat panggilan itu tidak lengkap, Awi menyebut hal itu merupakan hak-nya. Akan tetapi, dalam waktu dekat penyidik akan melayangkan surat panggilan selanjutnya.

"Kalau yang bersangkutan dipanggil sekali tidak hadir tentunya nanti akan dilayangkan panggilan berikutnya," kata dia.

Dalam perkara ini, Bareskrim Polri menetapkan 9 orang sebagai tersangka penyebaran ujaran kebencian dan penghasutan terkait kericuhan aksi demonstrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja.

Dari 9 orang itu 7 di antaranya merupakan anggota dan petinggi KAMI antara lain, Syahganda Nainggolan, Anton Permana, Jumhur Hidayat, Juliana, Devi, Khairi Amri, Wahyu Rasari Putri.

Sedangkan untuk dua lainnya yakni mantan calon anggota legislatif PKS Kingkin Anida dan Dedy Wahyudi pemilik akun media sosial @podoradong.

Mereka disangkakan dengan pasal berbeda-beda. Namun, secara garis besar mereka dijerat dengan Undang-Undang ITE, pasal ujaran kebencian dan penyebaran hoaks.